Minggu, 23 Desember 2012

NIKMAT DAN SIKSA KUBURAN DAN BIMBINGAN BAGI PENCARI GANJARAN DI BULAN MUHARROM YANG DIAGUNGKAN Bag.3 (Selesai)


NIKMAT DAN SIKSA KUBURAN
DAN BIMBINGAN BAGI PENCARI GANJARAN
DI BULAN MUHARROM YANG DIAGUNGKAN
Bag.3 (Selesai)


Pengantar:
Fadhilatusy Syaikh Abu Muhammad Abdul Hamid bin
Yahya Al Hajuriy Az Za’kariy
-Semoga Alloh memelihara beliau-
Disusun Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo
-semoga Alloh memaafkannya-
di Dammaj Yaman
-semoga Alloh menjaganya-
Judul asli:
“Itsbatu Na’imi Wa ‘Adzabil Qobr Wa Bayanu Ma Fi Shiyami
Syahrillahil Muharrom Minal Ajr”
Bab Lima:
Persiapan Untuk Kehidupan Setelah Mati Dengan Memanfaatkan Bulan Muharrom Dengan Melakukan Ibadah Yang Disyariatkan
Jika kita telah mengetahui bahwasanya kehidupan di alam kubur itu benar-benar ada tanpa keraguan, dan bahwasanya di dalamnya ada kenikmatan dan siksaan, maka orang yang berakal akan berupaya memperoleh keselamatan bagi dirinya dari siksaan kubur dan bersungguh-sungguh mendapatkan kenikmatannya.
Dan termasuk dari nikmat Alloh kepada kita adalah Dia menyampaikan kita kepada bulan Muharrom, yang mana bulan ini memiliki keutamaan-keutamaan dan kesempatan bagi orang yang memanfaatkannya dengan ibadah yang disyariatkan. Maka kita mohon pada Alloh agar menjadikan kita termasuk dalam golongan orang yang jika dipanjangkan umurnya amalannyapun bagus.
Dari Abdulloh bin Busr Al Aslamiy رضي الله عنهما yang berkata:
أن أعرابيا قال : يا رسول الله من خير الناس ؟ قال: «من طال عمره وحسن عمله».
“Bahwasanya seorang badui bertanya: Wahai Rosululloh, siapakah orang yang terbaik?” Maka beliau menjawab: “Orang yang panjang umurnya dan bagus amalannya.” (HR. At Tirmidziy (2329) dengan sanad yang shohih).
Dalam hadits ini ada keutamaan umur panjang yang disertai pertambahan amal sholih, maka tidak pantas seorang mukmin untuk minta mati karena beratnya suatu ujian.
Al Munawiy رحمه الله berkata: “Karena termasuk dari karakter seseorang adalah bertambah dan meninggi dari satu posisi ke posisi yang lain sampai berakhir pada posisi kedekatan kepada Alloh. Maka tidak boleh seorang mukmin yang berbekal untuk akhirat, yang berupaya menambah amal sholih untuk meminta diputusnya dia dari apa yang dicarinya, dengan mengharapkan kematian.” (“Faidhul Qodir”/no. 4038).
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata: “Karena manusia itu setiap kali panjang umurnya dalam ketaatan kepada Alloh, dia bertambah dengan kepada Alloh dan bertambah ketinggian di Akhirat, karena setiap amalan yang diamalkannya itu yang dalam keadaan itulah umurnya bertambah, maka dia mendekatkan dirinya kepada Robbnya عز وجل, maka orang yang terbaik adalah orang yang mendapatkan taufiq untuk dua perkara ini.
Adapun panjang umur maka itu adalah berasal dari Alloh, dan manusia tak punya urusan di situ karena umur itu di tangan Alloh عز وجل. Adapun bagusnya amalan maka sungguh itu mungkin bagi manusia untuk memperbagus amalannya, karena Alloh ta’ala menjadikan untuknya akal, menurunkan kitab-kitab, dan mengutus para Rosul, menjelaskan jalan, menegakkan argumentasi. Maka setiap manusia sanggup untuk mengerjakan amal sholih. Manusia jika mengerjakan amal sholih, maka Nabi صلى الله عليه وسلم telah mengabarkan bahwasanya sebagian amal sholih itu menyebabkan panjangnya umur, dan yang demikian itu seperti silaturrohim. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من أحب أن يبسط له في رزقه ، وينسأ له في أثره فليصل رحمه»،
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung hubungan dengan kerabatnya.” ([1])
Dan silaturrohim merupakan salah satu sebab panjangnya umur maka jika manusia yang terbaik adalah orang yang panjang umurnya dan bagus amalannya, maka sudah seharusnya bagi manusia untuk selalu minta pada Alloh untuk menjadikannya termasuk orang yang panjang umurnya dan bagus amalannya, agar menjadi manusia yang terbaik.
Dan di dalam hadits ini ada dalil bahwasanya sekedar panjangnya umur bukanlah suatu kebaikan bagi manusia kecuali jika dia bagus amalannya, karena terkadang panjangnya umur itu menjadi suatu kejelekan bagi manusia dan bahaya baginya, sebagaimana Alloh تبارك وتعالى berfirman:
﴿وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْماً وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ(آل عمران:178)
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”
Maka orang-orang kafir itu Alloh memberikan tempo untuk mereka, yaitu: membantu mereka dengan rizqi, keselamatan dan panjangnya umur, banyaknya anak dan istri, tiada kebaikan bagi mereka, bahkan itu jelek bagi mereka –kita berlindung kepada Alloh- karena mereka akan bertambah dosa dengan itu.” (“Syarh Riyadhush Sholihin”/12/hal. 48).
Pasal pertama: sebagian dalil tentang keutamaan bulan Muharrom
Sekaranglah saatnya untuk kita menyebutkan sebagian keutamaan bulan Muharrom, dan amalan yang disunnah di dalamnya.
Hadits pertama:
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«أفضل الصلاة بعد الصلاة المكتوبة الصلاة في جوف الليل، وأفضل الصيام بعد شهر رمضان صيام شهر الله المحرم ». (أخرجه مسلم (2813)).
“Sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat di tengah malam. Dan puasa yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon adalah puasa di bulan Alloh: Muharrom.” (HR. Muslim (2813)).
Hadits ini menunjukkan pada keutamaan puasa pada bulan Muharrom. Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Dan hadits ini terang-terangan menjelaskan bahwasanya ketaatan yang berupa puasa yang paling utama setelah Romadhon adalah puasa pada bulan Alloh Muharrom. Bisa jadi yang dimaksudkan adalah: bulan yang paling utama untuk diisi ketaatan dengan puasa sebulan penuh setelah Romadhon. Adapun sebagian ketaatan di sebagian bulan, bisa jadi lebih utama daripada puasa di sebagian bulan Muharrom, seperti puasa hari Arofah atau sepuluh hari di awal Dzul hijjah, atau enam hari di bulan Syawwal, dan yang seperti itu.” (“Lathoiful Ma’arif”/hal. 45/cet. Darul hadits).
Alloh Yang paling tahu tentang kesesuaian antara puasa yang terbaik dengan bulan Muharrom.
Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Sabda beliau: “Puasa yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon adalah puasa di bulan Alloh: Muharrom.” Ini –wallohu a’lam- hanyalah dikarenakan bahwasanya Muharrom itu adalah awal tahun baru yang tidak datang setelah bulan Romadhonnya, maka pembukaan tahun dengan puasa yang mana itu adalah termasuk dari amalan yang paling utama yang mana beliau صلى الله عليه وسلم mengabarkan bahwasanya puasa itu adalah cahaya. Maka jika orang itersebut membuka tahunnya dengan cahaya, dia berjalan di dalam cahaya di sisa tahunnya, wallohu a’lam.” (“Al Mufhim Lima Asykala Min Talkhishi Kitabi Muslim”/10/hal. 16).
Sabda beliau: “Puasa di bulan Alloh: Muharrom.” Beliau menyandarkan bulan kepada Alloh adalah sebagai pengagungan. Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Nabi صلى الله عليه وسلم menamakan Muharrom sebagai bulan Alloh, dan penyandarannya kepada Alloh menunjukkan kepada kemuliaan dan keutamaan bulan itu, karena sungguh Alloh ta’ala tidaklah dinisbatkan kepada-Nya kecuali makhluq-makhluq khusus-Nya, sebagaimana menisbatkan Muhammad, Ibrohim, Ishaq, Ya’qub dan para Nabi yang lain kepada peribadatan kepada-Nya, dan penisbatan rumah-Nya dan onta-Nya kepada-Nya. Manakala bulan ini dikhususkan dengan penyandarannya kepada Alloh ta’ala, dan puasa di antara seluruh amalan dinisbatkan kepada Alloh ta’ala, maka cocoklah bagi bulan yang dinisbatkan pada Alloh ini untuk dikhususkan dengan amalan yang juga dinisbatkan kepada-Nya yaitu puasa. Bisa dikatakan tentang makna penyandaran bulan ini kepada Alloh عز وجل : itu merupakan isyarat bahwasanya pengharomannya itu datang dari Alloh عز وجل dan tiada seorangpun yang berhak untuk menggantinya sebagaimana yang dulu dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah, mereka menghalalkannya dan mengharomkan bulan Shofar sebagai penggantinya. Maka Nabi mengisyaratkan bulan ini kepada Alloh yang mengharomkannya, maka tiada seorangpun dari makhluq-Nya yang berhak untuk menggantinya dan merubahnya:
( شهر الحرام مبارك ميمون … و الصوم فيه مضاعف مسنون )
( و ثواب صائمه لوجه إلهه … في الخلد عند مليكه مخزون )
“Bulan suci itu diberkahi dan tempat keberuntungan, dan puasa di dalamnya dilipatkan (pahalanya) dan disunnahkan.
Dan pahala orang yang berpuasa di situ karena mencari wajah Alloh di (negri) kekekalan di sisi Penciptanya tersimpan.”
Puasa merupakan rahasia antara sang hamba dan Robbnya. Oleh karena itulah Alloh Yang Penuh Berkah dan Maha tinggi berfirman:
«كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي و أنا أجزي به إنه ترك شهواته و طعامه و شرابه من أجلي».
“Seluruh amalan anak Adam itu untuknya kecuali puasa karena puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya dengan itu. Sesungguhnya dia meninggalkan syahwatnya, makannya dan minumnya demi Aku.” ([2])
«وفي الجنة باب يقال له : الريان لا يدخل منه إلا الصائمون فإذا دخلوا أغلق فلم يدخل منه غيرهم».
“Dan di dalam Jannah itu ada pintu yang dinamakan Royyan, tidaklah memasukinya kecuali orang-orang yang puasa. Jika mereka telah memasukinya ditutuplah pintu itu, maka tiada yang masuk dari pintu itu selain mereka.” ([3])
Dan puasa itu:
«جنة للعبد من النار كجنة أحدكم من القتال».
“Perisai bagi hamba dari Neraka sebagaimana perisai salah seorang dari kalian dari peperangan.” ([4])
(selesai penukilan dari “Lathoiful Ma’arif”/hal. 49-50/cet. Darul Hadits).
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iroqiy dalam “Syarhut Tirmidziy” berkata: “Apa hikmah penamaan Muharrom dengan bulan Alloh, sementara seluruh bulan adalah milik Alloh? Bisa jadi dikatakan: “Manakala dia itu termasuk antara bulan-bulan suci yang diharomkan Alloh untuk diadakan peperangan di dalamnya, dan dia adalah awal dari bulan-bulan dalam setahun, dinisbatkanlah kepada-Nya sebagai bentuk pengkhususan. Dan tidak shohih dari Nabi صلى الله عليه وسلم penisbatan bulan-bulan kepada Alloh selain bulan Muharrom.” (sebagaimana dalam “Ta’liq As Sindiy terhadap “Sunanun Nasaiy”/3/hal. 71).
Dan termasuk dalil yang menunjukkan kepada kemuliaan bulan ini adalah: bahwasanya Alloh menjadikan bulan Muharrom itu sebagai salah satu dari empat bulan suci. Alloh ta’ala berfirman:
﴿إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ الله اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ الله يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ [التوبة: 36].
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kalian semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Dari Abu Bakroh رضي الله عنه :
«إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السماوات والأرض السنة اثنا عشرة شهرا منها أربعة حرم ثلاثة متواليات: ذو القعدة، وذو الحجة، والمحرم، ورجب شهر مضر الذي بين جمادى وشعبان». ثم قال: «أي شهر هذا ؟» قلنا: الله ورسوله أعلم. قال: فسكت حتى ظننا أنه سيسميه بغير اسمه. قال:«أليس ذا الحجة ؟» قلنا: بلى. قال: «فأي بلد هذا ؟» قلنا: الله ورسوله أعلم. قال: فسكت حتى ظننا أنه سيسميه بغير اسمه. قال: «أليس البلدة ؟» قلنا: بلى. قال: «فأي يوم هذا ؟» قلنا: الله ورسوله أعلم. قال: فسكت حتى ظننا أنه سيسميه بغير اسمه. قال: «أليس يوم النحر ؟» قلنا: بلى يا رسول الله. قال: «فإن دماءكم وأموالكم  وأعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في بلدكم هذا في شهركم هذا، وستلقون ربكم فيسألكم عن أعمالكم. فلا ترجعن بعدي كفارا -أو ضلالا- يضرب بعضكم رقاب بعض. ألا ليبلغ الشاهد الغائب، فلعل بعض من يبلغه يكون أوعى له من بعض من سمعه». ثم قال: «ألا هل بلغت ؟». (أخرجه البخاري (4406) ومسلم (1679)).
“Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana keadaan aslinya pada hari Alloh menciptakan langit dan bumi. Setahun itu dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan suci: tiga bulan secara beruntun: Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharrom. Dan Rojab Mudhor yang ada di antara Jumada dan Sya’ban.” Kemudian beliau bersabda: “Bulan apa ini?” kami menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu.” Maka beliau diam sampai kami menduga bahwasanya beliau akan menamainya dengan nama lain. Beliau bersabda: “Bukankah ini bulan Dzul Hijjah?” Kami menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Negri apa ini?” kami menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu.” Maka beliau diam sampai kami menduga bahwasanya beliau akan menamainya dengan nama lain. Beliau bersabda: “Bukankah ini Negri Makkah?” Kami menjawab: “Iya.” beliau bersabda:“Hari apa ini?” Kami menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu.” Maka beliau diam sampai kami menduga bahwasanya beliau akan menamainya dengan nama lain. Beliau bersabda: “Bukankah ini Hari Nahr?” Kami menjawab: “Iya wahai Rosululloh.” Maka beliau bersabda: “Maka sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian itu harom terhadap kalian, seperti sucinya hari kalian ini di negri kalian ini di bulan kalian ini. Dan kalian akan berjumpa dengan Robb kalian lalu Dia akan menanyai kalian tentang amalan kalian. Maka janganlah kalian sekali-kali kembali sepeninggalku sebagai orang kafir –atau sesat- sebagian dari kalian memenggal leher sebagian yang lain. Ketahuilah, maka hendaknya yang hadir menyampaikan ini pada yang tidak hadir, karena bisa jadi sebagian orang yang diberi penyampaian itu lebih memahaminya daripada sebagian orang yang mendengar (langsung dariku).” Kemudian beliau bertanya: “Ketahuilah, bukankah aku telah menyampaikan?” (HR. Al Bukhoriy (4406) dan Muslim (1679)).
Dalam riwayat lain: Kami menjawab: “Iya, (Anda telah menyampaikan).” (HR. Al Bukhoriy (7078)).
Dan dari Qotadah رحمه الله yang berkata: “Adapun firman Alloh: “Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu“, karena sesungguhnya kezholiman di bulan-bulan suci itu labih besar kesalahannya dan dosanya daripada kezholiman di bulan-bulan lain, sekalipun kezholiman itu besar dosanya di seluruh keadaan, akan tetapi Alloh mengagungkan urusan-Nya sekehendak-Nya.” Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Alloh itu memilih pilihan-Nya di antara para makhluq-Nya. Dia memilih para utusan dari seluruh malaikat, dan memilih para utusan dari seluruh manusia, memilih dzikir-Nya dari seluruh perkataan, memilih masjid-masjid dari seluruh bumi, memilih bulan Romadhon dan bulan-bulan suci dari seluruh bulan, memilih hari Jum’at dari seluruh hari, memilih lailatul Qodr dari seluruh malam. Maka agungkanlah apa yang Alloh agungkan, maka hanyalah perkara itu diagungkan dengan pengagungan dari Alloh di sisi orang yang paham dan berakal.” (diriwayatkan oleh Ath Thobariy di “Jami’ul Bayan”/14/hal. 238-239/dengan sanad hasan).
Dan Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله yang berkata: “Dan firman Alloh: “Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan itu“, yaitu: di bulan-bulan suci, karena kezholiman tersebut lebih keras dan tandas dalam dosa daripada yang lainnya, sebagaimana bahwasanya kemaksiatan di tanah suci itu dilipatkan dosanya, berdasarkan firman Alloh ta’ala:
﴿ومن يرد فيه بإلحاد بظلم نذقه من عذاب أليم [الحج: 25]
“Dan barangsiapa di situ ingin melakukan penyelewengan dengan kezholiman, Kami akan merasakan padanya sebagian dari siksaan yang pedih.”
Dan demikian pula bulan suci, di dalamnya dosa diperkeras. Oleh karena itulah diyat pada bulan itu diperberat menurut madzhab Asy Syafi’iy dan kelompok besar para ulama. Dan demikian pula bagi orang yang membunuh di bulan suci atau membunuh mahrom.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 148).
Saya katakan –semoga Alloh memaafkan saya-: lihatlah kesucian bulan ini dan bulan-bulan suci yang lain, kemudianlah lihatlah banyaknya kemaksiatan yang dilakukan oleh saudara-saudara kita pada bulan itu bersamaan dengan dilipatkannya dosa dan diperberatnya nilai dosa di dalamnya. Maka kita harus menyebarkan ilmu dan nasihat di tenga-tengah masyarakat agar mereka mengetahui besarnya hak-hak Robb mereka, dan agungnya kehormatan bulan-bulan ini.
Faidah: Asy Syaikh ‘Alamuddin As Sakhowiy di dalam juz yang beliau kumpulkan yang beliau namai dengan “Al Masyhur Fi Asmail Ayyam Wasy Syuhur” beliau berkata: “Bahwasanya Muharrom itu dinamakan demikian karena dia itu adalah bulan harom. Dan menurutku: dia itu dinamakan demikian untuk memperkuat keharomannya, karena orang Arob dulu berbolak-balik dalam bulan itu, terkadang menghalalkannya pada dalam suatu tahun, dan pada tahun yang lain mereka mengharomkannya.” Beliau berkata: Muharrom itu jama’nya adalah muharromaat, mahaarim dan mahaariim.” (selesai penukilan dari (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 147).
Dan hadits Abu Huroiroh رضي الله tadi: “Dan puasa yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon adalah puasa di bulan Alloh: Muharrom” menunjukkan bahwasanya puasa Romadhon itu paling utama, kemudian puasa bulan Muharrom. Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Sabda beliau صلى الله عليه وسلم : “Dan puasa yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon adalah puasa di bulan Alloh: Muharrom” terang-terangan bahwasanya itu adalah bulan yang paling utama untuk puasa.” (“Al Minhaj”/8/hal. 55).
Hadits kedua:
Dari Abu Qotadah رضي الله عنه yang berkata: Rosullulloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى الله أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى الله أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ ».
Puasa hari Arofah itu aku berharap Alloh menghapus dosa tahun sebelumnya dan tahun yang sesudahnya. Dan Puasa hari Asyuro itu aku berharap Alloh menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR. Muslim (1162)).
Apa itu hari Asyuro?
Orang-orang berselisih pendapat tentang hal itu. Yang terkuat adalah bahwasanya hari Asyuro itu adalah hari kesepuluh dari bulan Muharrom. Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Asyuro itu penyimpangan lafazh dari ‘Asyir (kesepuluh) untuk penandasan dan pengagungan, dan Asyuro pada asalnya adalah sifat malam kesepuluh, karena dia itu diambil dari lafazh ‘asyr yang mana itu adalah nama akad dan hari, disandarkan kepada malam tadi. Maka jika dikatakan: “Hari Asyuro” seakan-akan dikatakan: “Hari malam kesepuluh.” Hanya saja mereka itu manakala melakukan penyimpangan dari sifat, dimenangkanlah ismiyyah (penamaan) tadi terhadap harinya sehingga mereka tidak butuh untuk menyebutkan objek yang disifati tadi, sehingga mereka menghapus lafazh “malam”, sehingga jadilah lafazh ini suatu istilah untuk hari kesepuluh.” (sebagaimana di dalam “Fathul Bari”/karya Ibnu Hajar/4/hal. 245).
Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Maka berdasarkan ini, maka hari Asyuro adalah hari kesepuluh. Dan ini adalah pendapat Al Kholil dan yang lainnya. Az Zain Ibnul Munir berkata: “Kebanyakan ulama berpendapat bahwasanya Asyuro adalah hari kesepuluh dari bulan Alloh Muharrom, dan ini adalah tuntutan dari isytiqoq (pecahan lafazh) dan penamaan.” (“Fathul Bari”/karya Ibnu Hajar/4/hal. 245).
Hadits ini jelas sekali menunjukkan agungnya puasa hari Asyuro, karena dengan itu Alloh menghapus kesalahan-kesalahan tahun yang lalu.
Hadits ketiga:
Dari hadits Aisyah رضي الله عنها yang berkata:
كانوا يصومون عاشوراء قبل أن يفرض رمضان، وكان يوما تستر فيه الكعبة. فلما فرض الله رمضان قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من شاء أن يصومه فليصمه، ومن شاء أن يتركه فليتركه».
“Dulu mereka berpuasa Asyuro sebelum diwajibkannya puasa Romadhon, dan itu adalah hari dilapisinya Ka’bah dengan tirai. Ketika Alloh mewajibkan puasa Romadhon, Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barangsiapa ingin berpuasa Asyuro maka hendaknya dia berpuasa. Dan barangsiapa ingin meninggalkannya maka hendaknya dia meninggalkannya.” (HR. Al Bukhoriy (1592) dan Muslim (1125). Lafazh ini milik Al Bukhoriy).
Apa hukum puasa Asyuro? Puasa Asyuro itu mustahab, tidak wajib, sebagaimana hadits ini.
Hadits keempat:
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:
حين صام رسول الله صلى الله عليه و سلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه قالوا: يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع». قال: فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم. (أخرجه مسلم (1134)).
“Ketika Rosululloh صلى الله عليه وسلم berpuasa hari Asyuro dan memerintahkan agar orang-orang puasa hari itu, mereka berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashoro.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika tahun depan datang, insya Alloh kita akan puasa hari kesembilan.” Ternyata tidaklah datang tahun depan hingga Rosululloh صلى الله عليه وسلم wafat.” (HR. Muslim (1134)).
Hadits ini menunjukkan disyariatkan menyelisihi orang Yahudi dalam bentuk peribadatan.
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Sebagian ulama berkata: “Dan barangkali sebab puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh adalah agar tidak mirip dengan Yahudi yang menyendirikan hari kesepuluh. Dan dalam hadits ini ada isyarat kepada makna tadi.” (“Al Minhaj”/8/hal. 13).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan manakala puasa hari Asyuro itu tidak mungkin digantikan dengan yang lainnya karena luputnya hari yang lain, maka kita diperintahkan untuk menggabungkan kepadanya sehari sebelumnya dan sehari setelahnya agar hilanglah bentuk keserupaan.” (“Ahkam Ahlidz Dzimmah”/hal. 242).
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Karena sesungguhnya jelas bahwasanya beliau صلى الله عليه وسلم dulu berpuasa pada hari kesepuluh dan ingin berpuasa pada hari kesembilan, tapi beliau meninggal sebelum itu. Keinginan beliau untuk berpuasa pada hari kesembilan mengandung kemungkinan bahwasanya maknanya adalah bahwasanya beliau tidak mencukupkan diri dengan hari kesembilan saja, bahkan menggabungkan hari kesembilan itu kepada hari kesepuluh, mungkin sebagai kehati-hatian, dan mungkin untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashoro, dan inilah yang kuat.” (“Fathul Bari”/4/hal. 245).
Menyerupakan diri dengan orang-orang kafir itu terlarang, dan di dalamnya ada bahaya bagi agama muslimin. Dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma bahwasanya Nabi -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia adalah termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad (5232) dan Abu Dawud (4026). Hadits shohih. Rujuk ucapan Al Imam Al Albaniy رحمه الله dalam “Irwaul Gholil” no. (1269)/cet. Al Maktabul Islamiy).
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan ini adalah sanad yang jayyid.” Beliauرحمه الله juga berkata: “Dan hadits ini keadaan minimalnya adalah menuntut diharomkannya penyerupaan dengan mereka, sekalipun lahiriyyahnya menuntut kafirnya orang yang menyerupakan diri dengan mereka, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala:
﴿وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Dan barangsiapa berloyalitas dengan mereka maka sungguh dia itu termasuk dari mereka.”
-sampai pada ucapan beliau:- mungkin saja bahwasanya dirinya itu termasuk dari mereka sesuai dengan kadar penyerupaan dirinya dengan mereka. jika yang diserupai tadi merupakan kekufuran, atau kemaksiatan, atau syiar untuknya, maka hukum orang itu juga demikian. Dalam keadaan apapun, dalil tadi mengharuskan diharomkannya penyerupaan.” (“Al Iqtidho”/1/hal. 270-271/Maktabatur Rusyd).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan rahasianya adalah: bahwasanya penyerupaan dalam jalan yang bersifat lahiriyyah itu merupakan sarana untuk terjadinya kesesuaian dalam maksud dan amalan.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/3/hal. 140).
Hadits kelima:
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:
قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسئلوا عن ذلك ؟ فقالوا: هذا اليوم الذي أظهر الله فيه موسى وبني إسرائيل على فرعون. فنحن نصومه تعظيما له. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «نحن أولى بموسى منكم» فأمر بصومه. (أخرجه مسلم (1130)).
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم tiba di Madinah lalu beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuro. Maka mereka ditanya tentang hal itu, maka mereka menjawab: “Ini adalah hari di mana Alloh memenangkan Musa dan Bani Isroil terhadap Fir’aun. Maka kami berpuasa di hari itu untuk mengagungkannya.” Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Kami lebih berhak kepada Musa daripada kalian.” Lalu beliau memerintahkan untuk berpuasa di hari itu.” (HR. Muslim (1130)).
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Kami lebih berhak kepada Musa daripada kalian.”Dan beliau memerintahkan untuk berpuasa di hari itu.” Maka ini adalah dalil bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم tidak berpuasa di hari itu kecuali untuk mengagungkan hari itu.” (“At Tamhid”/7/hal. 209).
Hadits keenam:
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:
أنه سئل عن صيام يوم عاشوراء؟ فقال: ما علمت أن رسول الله عليه وسلم صام يوما يطلب فضله على الأيام إلا هذا اليوم، ولا شهرا إلا هذا الشهر يعني رمضان. (أخرجه مسلم (1132)).
“Bahwasanya beliau ditanya tentang puasa hari Asyuro? Maka beliau menjawab: “Aku tidak tahu bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم berpuasa pada suatu hari karena mencari keutamaannya di atas hari-hari yang lain kecuali hari Asyuro ini, dan tidak pula keutamaan bulan kecuali bulan ini, yaitu bulan Romadhon.” (HR. Muslim (1132)).
Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Dan dulu Nabi صلى الله عليه وسلم dalam puasa beliau punya empat keadaan:
Keadaan pertama: beliau berpuasa pada hari itu di Makkah tapi tidak memerintahkan orang-orang berpuasa. Maka dalam “Ash Shohihain” dari ‘Aisyah رضي الله عنها yang berkata:
كان عاشوراء يوما تصومه قريش في الجاهلية، و كان النبي صلى الله عليه و سلم يصومه. فلما قدم المدينة صامه و أمر بصيامه، فلما نزلت فريضة شهر رمضان كان رمضان هو الذي يصومه فترك يوم عاشوراء، فمن شاء صامه و من شاء أفطره.
“Dulu Asyuro adalah hari yang orang-orang Quroisy berpuasa pada hari itu di masa Jahiliyyah. Dan dulu Nabi صلى الله عليه وسلم berpuasa pada hari itu. Ketika beliau tiba di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan orang untuk berpuasa pada hari itu. Ketika turun kewajiban puasa bulan Romadhon, Romadhon itulah yang beliau berpuasa pada bulan itu, lalu beliau meninggalkan hari Asyuro. Barangsiapa ingin berpuasa Asyuro maka hendaknya dia berpuasa. Dan barangsiapa ingin berbuka maka hendaknya dia berbuka.”
Dan dalam riwayat Al Bukhoriy:
و قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «من شاء فليصمه و من شاء أفطر».
“Dan Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barangsiapa ingin berpuasa Asyuro maka hendaknya dia berpuasa. Dan barangsiapa ingin meninggalkannya maka hendaknya dia meninggalkannya.”
Keadaan kedua: bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم ketika tiba di Madinah dan beliau melihat puasa Ahli Kitab pada hari Asyuro dan pengagung mereka untuk hari itu, dan dulu beliau senang mencocoki mereka dalam perkara yang tidak diperintahkan, beliaupun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan orang-orang untuk melakukan itu. Dan beliau menekankan perintah untuk berpuasa hari itu dan mendorong orang-orang berbuat itu hingga mereka menyuruh anak-anak kecil mereka berpuasa di hari itu. Maka dalam “Ash Shohihain” dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:
قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة فوجد اليهود صياما يوم عاشوراء فقال لهم رسول الله صلى الله عليه و سلم: «ما هذا اليوم الذي تصومونه ؟». قالوا : هذا يوم عظيم أنجى الله فيه موسى وقومه، وأغرق فرعون وقومه، فصامه موسى شكرا. فنحن نصومه فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «فنحن أحق و أولى بموسى منكم». فصامه رسول الله صلى الله عليه و سلم وأمر بصيامه.
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم tiba di Madinah lalu beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuro. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم bertanya kepada mereka: “Hari apa ini yang kalian berpuasa di dalamnya?”, Maka mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, di mana Alloh menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari itu, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur. Maka kami berpuasa di hari itu.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Maka kami lebih berhak dan lebih pantas kepada Musa daripada kalian.” Lalu Rosululloh صلى الله عليه وسلم berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa di hari itu.”
-Sampai pada ucapan beliau:-
Dan para ulama رضي الله عنهم berselisih pendapat: apakah dulu puasa hari Asyuro itu wajib sebelum diwajibkannya bulan Romadhon ataukah dia itu sunnah muakkadah? Ada dua pendapat yang terkenal.
Dan madzhab Abu Hanifah: bahwasanya puasa Asyuro itu dulunya adalah wajib. Dan ini adalah zhohir dari ucapan Al Imam Ahmad dan Abu Bakr Al Atsrom. Dan Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Bahkan dia itu dulu sunnah muakkadah saja.” Dan ini adalah pendapat kebanyakan sahabat kami dan selain mereka.
Keadaan ketiga: bahwasanya manakala diwajibkan puasa bulan Romadhon, Nabi صلى الله عليه وسلم tidak lagi memerintahkan para Shohabat untuk puasa Asyuro dan tidak lagi menekankannya. Dan telah lewat hadits Aisyah tentang itu. Dan di dalam “As Shohihain”:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : صام النبي صلى الله عليه و سلم عاشوراء و أمر بصيامه فلما فرض رمضان ترك ذلك. و كان عبد الله لا يصومه إلا أن يوافق صومه.
Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما yang berkata: “Nabi صلى الله عليه وسلم dulu puasa Asyuro dan memerintahkan para Shohabat untuk puasa Asyuro. Ketika diwajibkan puasa bulan Romadhon, beliau meninggalkan itu.” Dan Ibnu Umar tidak puasa Asyuro kecuali jika hari itu bertepatan dengan waktu puasa beliau.
Dan dalam satu riwayat dalam Shohih Muslim:
إن أهل الجاهلية كانوا يصومون يوم عاشوراء، وأن رسول الله صلى الله عليه و سلم صامه و المسلمون قبل أن يفرض رمضان. فلما فرض رمضان قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : «إن عاشوراء يوم من أيام الله فمن شاء صامه و من شاء تركه»
“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyyah dulu puasa hari Asyuro, dan bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan Muslimun berpuasa hari Asyuro sebelum diwajibkannya Romadhon. Ketika Romadhon diwajibkan, Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya Asyuro adalah salah satu hari milik Alloh. Maka barangsiapa ingin berpuasa Asyuro maka hendaknya dia berpuasa. Dan barangsiapa ingin berbuka maka hendaknya dia meninggalkannya.”
Dan dalam satu riwayat Muslim juga:
«فمن أحب منكم أن يومه فليصمه و من كره فليدعه».
“Maka barangsiapa ingin berpuasa Asyuro maka hendaknya dia berpuasa. Dan barangsiapa tidak menyukainya maka hendaknya dia meninggalkannya.”
Dan dalam “Ash Shohihain” juga dari Mu’awiyyah yang berkata:
سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: «هذا يوم عاشوراء و لم يكتب الله عليكم صيامه. و أنا صائم فمن شاء فليصم و من شاء فليفطر».
“Aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang berkata: “Ini adalah hari Asyuro dan tidak diwajibkan terhadap kalian untuk berpuasa di situ. Dan aku berpuasa. Maka barangsiapa ingin berpuasa Asyuro maka hendaknya dia berpuasa. Dan barangsiapa ingin berbuka maka hendaknya dia berbuka.”
-Sampai pada ucapan Ibnu Rojab:- dan kebanyakan ulama berpendapat bahwasanya puasa Asyuro itu sunnah tapi bukan muakkadah. Dan termasuk yang diriwayatkan dari kalangan shohabat yang berpuasa Asyuro adalah: Umar, Ali, Abdurrohman bin Auf, Abu Musa, Qois bin Sa’d, Ibnu Abbas dan yang lainnya. Dan yang menunjukkan tetap mustahabnya puasa Asyuro adalah ucapan Ibnu Abbas رضي الله عنهما : “Aku tidak tahu bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم berpuasa pada suatu hari karena bersungguh-sungguh mencari keutamaannya di atas hari-hari yang lain kecuali hari Asyuro ini, dan bulan Romadhon.” Dan Ibnu Abbas hanyalah menyertai Nabi صلى الله عليه وسلمdi akhir-akhir hayat Nabi, dan beliau memahami Nabi صلى الله عليه وسلم hanyalah di akhir-akhir urusan Nabi. Dan di dalam Shohih Muslim dari Abu Qotadah:
أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم عن صيام عاشوراء؟ فقال : «أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله».
“Bahwasanya seseorang bertanya pada Nabi صلى الله عليه وسلم tentang puasa Asyuro, maka beliau menjawab: Puasa hari Asyuro itu aku berharap Alloh menghapus dosa tahun sebelumnya.”
Hanyalah orang itu menanyai beliau tentang puasa sunnah, karena dia juga menanyai beliau tentang puasa hari Arofah, puasa Dahr, puasa sehari dan berbuka sehari, dan puasa sehari dan berbuka dua hari. Maka diketahuilah bahwasanya hanyalah orang itu menanyai beliau tentang puasa sunnah.
-sampai pada ucapan beliau:-
Keadaan keempat: bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم di akhir umur beliau bertekad untuk tidak puasa hari Asyuro sendirian, tapi menggabungkan kepadanya hari yang lain demi menyelisihi puasa ahli kitab. Dalam Shohih Muslim dari Ibnu Abbas bahwasanya beliau berkata:
حين صام رسول الله صلى الله عليه و سلم عاشوراء و أمر بصيامه قالوا : يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود و النصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع». قال : فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم.
“Ketika Rosululloh صلى الله عليه وسلم berpuasa hari Asyuro dan memerintahkan agar orang-orang puasa hari itu, mereka berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashoro.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika tahun depan datang, insya Alloh kita akan puasa hari kesembilan.” Ternyata tidaklah datang tahun depan hingga Rosululloh صلى الله عليه وسلم wafat.” (HR. Muslim (1134)).
Dan dalam riwayat Muslim juga dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع مع العاشر» يعني عاشوراء.
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika aku masih hidup sampai tahun depan aku akan berpuasa tanggal sembilan bersama tanggal sepuluh.” Yaitu Asyuro.”
Dan seterusnya.
(selesai penukilan dari “Lathoiful Ma’arif”/hal. 68-72/cet. Darul Hadits).
Bab Enam:
Wajibnya Mencurahkan Perhatian Pada Tobat, Menjauhi Dosa-dosa dan Penggugur Amalan, Dan Jangan Bersandarkan Pada Nash-nash yang Berisi Janji

Ketahuilah bahwasanya sebagian manusia bermudah-mudah dalam berbuat maksiat dan tidak mau bertobat dari dosa-dosa besar dengan alasan bahwasanya puasa mereka akan menghapus seluruh dosa. Perkataan ini muncul dari ketertipuan dengan nash-nash janji tanpa memperhatikan hakikat perkara, keagungan hak Alloh, syarat shohihnya amalan, dan pembatal-pembatal amalan.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Telah shohih dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
«صيام يوم عرفة يكفر سنتين، وصيام يوم عاشوراء يكفر سنة»
Puasa hari Arofah itu menghapus dosa dua tahun. Dan Puasa hari Asyuro itu menghapus dosa setahun.” [HR. Muslim (1162) dengan makna].
Akan tetapi pemutlakan ucapan bahwasanya puasa tadi menghapus dosa tidak mengharuskan menghapus dosa besar tanpa bertobat, karena sesungguhnya beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
«الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان مكفرات ما بينهن إذا اجتنب الكبائر ».
“Sholat yang lima, dari Jum’at ke Jum’at, dan dari Romadhon ke Romadhon adalah penghapus dosa-dosa di antaranya, jika dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim (574) dari Abu Huroiroh رضي الله عنه).
Dan telah diketahui bahwasanya sholat itu lebih utama daripada puasa, dan puasa Romadhon itu lebih utama daripada puasa Arofah, dan tidak menghapus kesalahan kecuali jika dia menjauhi dosa-dosa besar, sebagaimana kaitan (syarat) yang diberikan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . Maka bagaimana diduga bahwasanya puasa sunnah sehari atau dua hari itu menghapus dosa zina, mencuri, minum khomr, judi, sihir dang semisalnya? Ini tidak terjadi.” (“Mukhtashorul Fatawal Mishriyyah Li Ibni Taimiyyah”/1/hal. 254).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “… dan seperti tertipunya sebagian dari mereka dengan bertopang kepada puasa hari Asyuro atau hari Arofah hingga sebagian dari mereka berkata: “Hari Asyuro menghapus dosa setahun seluruhnya, dan tersisa puasa Arofah sebagai tambahan pahala.” Dan orang yang terpedaya ini tidak tahu bahwasanya puasa Romadhon dan sholat lima waktu itu labih agung dan lebih mulia daripada puasa hari Arofah dan hari Asyuro, sementara ibadah yang lebih agung tadi hanyalah menghapus dosa-dosa di antara amalan tadi jika dosa-dosa besar dijauhi. Maka bulan Romadhon, dari Jum’at ke Jum’at tidaklah kuat untuk menghapus dosa-dosa kecil kecuali jika digabungkan dengan meninggalkan dosa-dosa besar, sehingga menjadi kuat dengan gabungan dua perkara untuk menghapus dosa-dosa kecil. Maka bagaimana puasa sunnah menghapus seluruh dosa besar yang dikerjakan sang hamba dalam keadaan dia terus-menerus melakukan dosa tadi tanpa mau bertobat darinya? Ini mustahil.
Hanya saja bisa saja bahwasanya puasa Arofah dan puasa Asyuro itu menghapus seluruh dosa tahun itu sesuai dengan keumumannya, sehingga termasuk dari nash-nash janji yang punya syarat-syarat dan penghalang, dan jadilah terus-menerusnya dia dalam dosa besar merupakan penghalang dihapusnya dosa. Jika dia tidak terus-menerus dalam dosa besar, maka puasa dan terus-menerusnya dia dalam dosa besar tadi saling menolong dan saling membantu untuk menghapus dosa keseluruhan, sebagaimana Romadhon, sholat lima waktu beserta penjauhan dosa besar saling menolong dan membantu dalam menghapus dosa-dosa kecil, bersamaan bahwasanya Alloh Yang Mahasuci berfirman:
﴿إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم﴾
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang kalian dilarang darinya Kami akan menghapus dari kalian dosa-dosa kecil kalian.”
Maka diketahui bahwasanya dijadikannya sesuatu sebagai sebab untuk menghapus dosa itu tidak menghalangi terjadinya saling bantu antara sebab tadi dengan sebab yang lain untuk menghapus dosa itu, dan jadilah penghapusan dosa itu dengan gabungan dua sebab itu lebih kuat dan lebih sempurna daripada jika masing-masingnya sendirian. Dan setiap kali sebab-sebab penghapusan tadi makin kuat, maka makin kuat, sempurna dan menyeluruhlah penghapusannya.” (“Al Jawabul Kafi”/hal. 36-37/cet. Dar Ibnil Jauziy).
Beliau رحمه الله berkata: “Adapun amalan yang diliputi oleh kelalaian atau kebanyakannya terkena kelalaian dan hilangnya keikhlasan yang mana itu merupakan nyawa dari amalan, dan tidak memenuhi hak-Nya, dan tidak menghormati Alloh dengan sebenar-benarnya, maka dosa apa yang dihapusnya? Jika hamba percaya pada amalannya bahwasanya dirinya telah memenuhi haknya sebagaimana mestinya secara lahir dan batin, dan tidak dihadang oleh suatu penghalang yang menghalangi penghapusan dosanya, dan tidak dihadang oleh penggugur amalan –berupa kekaguman diri, memandang besar dirinya sendiri, atau menyebut-nyebut jasa pribadi, atau mencari pengagungan dari para hamba, atau hatinya mencari-cari orang yang mengagungkannya, atau memusuhi orang yang tidak mengagungkannya, dan melihat bahwa orang tadi meremehkan haknya, dan bahwasanya dia telah menghina kehormatannya- maka amalan macam ini, dosa apa yang bisa dihapusnya?
Penggugur-penggugur amalan dan perusaknya itu terlalu banyak untuk dibatasi. Dan bukanlah yang penting itu amalannya, tapi yang penting adalah bagaimana menjaga amalan dari perkara yang merusaknya dan menggugurkannya. Riya walaupun kecil akan menggugurkan amalan, dan riya itu pintunya banyak tak terbatas. Dan amalan yang tidak mengikuti sunnah juga mengharuskannya jadi batal. Menyebut-nyebut pemberian pada Alloh dengan hatinya juga merusak amalan tadi. Demikian pula menyebutkan jasa shodaqoh, kebaikan, kebajikan dan silaturrohim akan merusak amalan, sebagaimana Alloh Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman:
﴿يا أيها الذين آمنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى﴾
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian membatalkan shodaqoh-shodaqoh kalian dengan menyebut jasa dan mengganggu.”
Dan kebanyakan manusia tidak tahu kesalahan-kesalahan yang menggugurkan kebaikan, dan Alloh ta’ala berfirman:
﴿يا أيها الذين آمنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي ولا تجهروا له بالقول كجهر بعضكم لبعض أن تحبط أعمالكم وأنتم لا تشعرون﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalan kalian, sedangkan kalian tidak menyadari.”
Maka Alloh memperingatkan mukminin dari gugurnya amalan mereka dengan bersuara keras pada Rosululloh صلى الله عليه وسلم sebagaimana kerasnya suara sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Dan ini bukanlah kemurtadan, tapi ini adalah maksiat yang menggugurkan amalan sedangkan pelakunya tidak menyadarinya. Maka apa dugaan bagi orang yang mendahulukan ucapan orang lain, jalan orang lain dan metode orang lain di atas ucapan Rosululloh صلى الله عليه وسلم, jalan dan metode beliau?” (“Al Wabilush Shoyyib”/hal. 19-21/cet. Dar Alamil Fawaid).
Kesimpulan: bahwasanya dalil-dalil yang berisi janji pahala untuk sebagian amalan merupakan sebab yang menghasung manusia untuk memperbagus ibadah disertai dengan kuatnya harapan pada Alloh, akan tetapi tidak boleh bagi hamba untuk terpedaya dengan itu sehingga merasa cukup dengan itu dan meninggalkan ibadah yang lebih agung yang berupa kewajiban yang Alloh tetapkan padanya.
Bab tujuh:
Beberapa Hadits Lemah Atau Palsu Tentang Hari Asyuro
Ada banyak sekali berita-berita palsu yang berbicara tentang hari Asyuro, para ulama رحمهم الله memperingatkan umat tentang itu agar mereka tidak tertipu. Saya akan menyebutkan sebagiannya sebagai contoh:
Hadits pertama:
Dari Az Zuhriy yang berkata:
لما قتل الحسين بن علي رضي الله تعالى عنه لم يرفع حجر ببيت المقدس إلا وجد تحته دم عبيط.
“Ketika Al Husain bin Ali رضي الله تعالى عنه terbunuh, tidaklah batu di Baitul Maqdis diangkat kecuali didapati di bawahnya darah segar.” (diriwayatkan Ath Thobroniy di “Al Mu’jamul Kabir” (2765)).
Di dalam sanadnya ada Abu Bakr Al Hudzaliy, matrukul hadits.
Atsar ini diriwayatkan Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Al Ahad Wal Matsaniy” (187) dari ucapan Az Zuhriy juga. Di dalam sanadnya ada orang yang tidak disebutkan namanya.
Ini juga diriwayatkan Al Hakim dalam “Al Mustadrok” dari Az Zuhriy dari perkataan Asma رضي الله عنها . Di dalam sanadnya ada Nuh bin Darroj. Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله dalam “At Talkhish ‘alal Mustadrok” beliau berkata: “Nuh itu pendusta.”
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Ath Thobroniy dalam bab ini telah menyebutkan atsar-atsar yang sangat aneh. Dan syi’ah telah berlebihan terhadap hari Asyuro, sehingga mereka memalsukan hadits-hadits yang banyak yang sangat dusta bahwasanya matahari gerhana pada hari itu sampai-sampai bintang-bintang bermunculan, dan tidaklah pada hari itu batu diangkat kecuali didapati di bawahnya darah, dan bahwasanya penjuru langit berwarna merah, dan matahari terbit, tapi sinarnya bagaikan darah, dan jadilah langit bagaikan darah yang tergantung, dan bahwasanya bintang-bintang saling bertabrakan, dan langit menurunkan hujan darah merah, dan bahwasanya warna merah tidak ada di langit sebelum itu, dan yang seperti itu.
Dan Ibnu Lahi’ah meriwayatkan dari Abu Qubail Al Mu’afiriy bahwasanya matahari gerhana pada hari itu hingga bintang-bintang bermunculan di waktu zhuhur, dan bahwasanya kepala Husain ketika mereka membawanya masuk ke istana pemerintahan, mulailah dinding-dinding mengalirkan darah, dan bahwasanya bumi gelap selama tiga hari, dan tidaklah ada orang yang menyentuh za’faron ataupun wars yang ada pada Husain pada hari itu kecuali orang yang menyentuhnya itu terbakar. Dan tidaklah batu di Baitul Maqdis diangkat kecuali didapati di bawahnya darah segar, dan bahwasanya onta-onta yang mereka rampas dari onta Husain, ketika mereka memasaknya jadilah dagingnya seperti pohon yang pahit. Dan kedustaan-kedustaan yang lain dan hadits-hadits palsu yang tidak shohih darinya sedikitpun.”
(selesai dari “Al Bidayah Wan Nihayah”/8/hal. 201).
Hadits kedua:
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:
«من صام يوم عاشوراء كتب الله له عبادة ستين سنة».
“Barangsiapa berpuasa hari Asyuro, Alloh mencatat untuknya ibadah enam puluh tahun.”
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan termasuk dari itu adalah hadits: “Barangsiapa berpuasa hari Asyuro, Alloh mencatat untuknya ibadah enam puluh tahun.” Ini adalah batil. Diriwayatkan oleh Habib bin Abi Habib dari Ibrohim Ash Shoigh dari Maimun bin Mihron dari Ibnu Abbas. Habib bin Abi Habib dulu sering memalsukan hadits.” (“Al Manarul Munif”/hal. 47).
Hadits ketiga:
Hadits yang berbunyi:
«إن الله خلق السموات والأرض يوم عاشوراء».
“Sesungguhnya Alloh menciptakan langit dan bumi pada hari Asyuro”
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله saat menyebutkan hadits-hadits palsu berkata: “Dan termasuk dari itu adalah hadits: “Sesungguhnya Alloh menciptakan langit dan bumi pada hari Asyuro.” (“Al Manarul Munif”/hal. 52).
Hadits keempat:
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من اكتحل بالإثمد يوم عاشوراء لم يرمد أبدا».
“Barangsiapa bercelak dengan itsmid pada hari Asyuro, dia tak akan kena penyakit mata selamanya.”
Diriwayatkan oleh Al Baihaqiy dalam “Syu’abul Iman” (5/hal. 334) dari jalur Juwaibir, dari Adh Dhohhak, dari Ibnu Abbas. Al Baihaqiy رحمه الله berkata: “Juwaibir itu lemah, dan Adh Dhohhak itu tidak berjumpa dengan Ibnu Abbas.”
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Akan tetapi diriwayatkan oleh sebagian generasi terakhir tentang Asyuro hadits-hadits seperti apa yang mereka riwayatkan bahwasanya: “Barangsiapa bercelak dengan itsmid pada hari Asyuro, dia tak akan kena penyakit mata sejak tahun itu, dan barangsiapa mandi pada hari Asyuro dia tak akan sakit pada tahun itu.” Dan semisal itu.” (“Majmu’ul Fatawa”/25/hal. 300).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan termasuk dari itu adalah hadits bercelak pada hari Asyuro, berhias dan berlapang-lapang serta sholat pada hari itu, dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak shohih darinya sedikitpun. Satu haditspun tidak ada. Dan tidak benar dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang itu sedikitpun kecuali hadits-hadits puasa Asyuro. Yang selain itu adalah batil.” (“Al Manarul Munif”/hal. 111).
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Dan yang paling aneh adalah penyebutan Nuh juga. Wallohu a’lam. Adapun apa yang disebutkan oleh kebanyakan orang-orang bodoh bahwasanya mereka (Nuh dan pengikutnya) makan sisa-sisa bekal mereka yang berupa biji-bijian yang ada pada mereka yang mereka bawa, mereka menanak biji-bijian tersebut pada hari itu, dan bercelak dengan itsmid untuk memperkuat pandangan mata mereka manakala pandangan mata mereka melemah saat terkena cahaya setelah mereka berada dalam kegelapan kapal. Maka ini semua tidak shohih sediktipun. Hanyalah dalam masalah itu disebutkan atsar-atsar yang terputus dari Bani Isroil yang tak boleh dipakai untuk bertopang dan tak boleh diikuti. Wallohu a’lam.” (“Al Bidayah Wan Nihayah”/1/hal. 145/cet. Dar Ibni Rojab).

Hadits kelima:
Dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه yang berkata: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من وسع على عياله يوم عاشوراء وسع الله عليه في سائر سنته».
“Barangsiapa memberi keluasan kepada keluarganya pada hari Asyuro, Alloh akan memberikan keluasan padanya di sepanjang tahunnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqiy dalam “Syu’abul Iman” (3/hal. 365) dan berkata: “Hudhoim menyendiri dalam periwayatannya dari Al A’masy.”
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan mereka meriwayatkan dalam hadits palsu, hadits yang dusta atas nama Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya: “Barangsiapa memberi keluasan kepada keluarganya pada hari Asyuro, Alloh akan memberikan keluasan padanya di sepanjang tahunnya.”
Dan periwayatan ini semua dari Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan kedustaan, akan tetapi dia itu dikenal dari riwayat Sufyan bin Uyainah dari Ibrohim bin Muhammad ibnul Muntasyir dari ayahnya yang berkata: “Sampai pada kami bahwasanya “Barangsiapa memberi keluasan kepada keluarganya pada hari Asyuro, Alloh akan memberikan keluasan padanya di sepanjang tahunnya.”
Ibrohim bin Muhammad ibnul Muntasyir termasuk penduduk Kufah yang dulu di kalangan mereka ada dua kelompok:
Kelompok rofidhoh yang menampakkan loyalitas kepada ahli bait, dan mereka secara batin bisa jadi adalah orang-orang yang menyimpang dari Islam, para zindiq (Munafiq I’tiqodiy), dan bisa jadi adalah orang-orang bodoh dan pengekor hawa nafsu.
Dan kelompok nashibah yang membenci Ali dan para pengikutnya, dikarenakan peperangan dan fitnah telah terjadi.”
(“Majmu’ul Fatawa”/25/hal. 300-301).
Beliau رحمه الله juga berkata: “Adapun perkataan Ibnu Uyainah, maka tidak ada hujjah di situ, karena Alloh Yang Mahasuci telah memberikan rizqi padanya, dan tidaklah pemberian Alloh dengan itu menunjukkan bahwasanya sebabnya adalah peluasan hari Asyuro, sementara Alloh telah memberikan keluasan pada makhluk-makhluk yang paling utama, dari kalangan Muhajirin dan Anshor, dan mereka tidak memaksudkan meluaskan infaq pada keluarga mereka pada hari Asyuro secara khusus.” (“Majmu’ul Fatawa”/25/hal. 313).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: dan riwayat yang terbaik tentang masalah itu adalah:“Barangsiapa memberi keluasan kepada keluarganya pada hari Asyuro, Alloh akan memberikan keluasan padanya di sepanjang tahunnya.” Al Imam Ahmad berkata: “Hadits ini tidak shohih.” (“Al Manarul Munif”/hal. 111).
Dan Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Dan setiap yang diriwayatkan tentang bercelak pada hari Asyuro dan menyemir rambut serta mandi pada hari itu, maka itu palsu, tidak shohih. Adapun shodaqoh pada hari itu, telah diriwayatkan dari Abdulloh bin Amr ibnul Ash yang berkata: “Barangsiapa berpuasa pada hari Asyuro maka seakan-akan dia berpuasa setahun. Dan barangsiapa bershodaqoh pada hari itu, maka seperti shodaqoh setahun. Diriwayatkan oleh Abu Musa Al Madiniy.
Adapun memberikan keluasan infaq pada keluarga pada hari itu, maka Harb telah berkata: “Aku bertanya kepada Ahmad tentang hadits yang datang: “Barangsiapa memberi keluasan kepada keluarganya pada hari Asyuro…” maka Ahmad tidak memandangnya shohih sedikitpun.” Ibnu Manshur berkata: “Aku bertanya kepada Ahmad: apakah Anda mendengar tentang hadits:“Barangsiapa memberi keluasan kepada keluarganya pada hari Asyuro, Alloh akan memberikan keluasan padanya di sepanjang tahunnya.” Maka beliau menjawab: Iya, diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ja’far Al Ahmar dari Ibrohim bin Muhammad dari Al Muntasyir, dan dia termasuk orang yang paling utama di zamannya, bahwasanya sampai kepadanya: bahwasanya“Barangsiapa memberi keluasan kepada keluarganya pada hari Asyuro, Alloh akan memberikan keluasan padanya di sepanjang tahunnya.” Ibnu Uyainah berkata: “Kami telah mencobanya sejak limapuluh tahun atau enam puluh tahun. Maka kami tidak melihatnya kecuali kebaikan.” Dan ucapan Harb bahwasanya Ahmad tidak memandangnya shohih sedikitpun.” Maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan secara marfu’ kepada Nabi صلى الله عليه وسلم karena sesungguhnya sanadnya tidak shohih. Dan telah diriwayatkan dari sisi yang bermacam-macam dan tidak shohih sedikitpun darinya. Dan termasuk yang mengucapkan itu adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam. Al ‘Uqoiliy berkata: “Hadits ini tidak mahfuzh (berarti syadz, menyendiri). Dan telah diriwayatkan dari ucapan Umar, dan di dalam sanadnya ada orang majhul, tidak dikenal.” (“Lathoiful Ma’arif”/hal. 76/cet. Darul Hadits).
Hadits keenam:
Dari Sa’id bin Zaid رضي الله عنهما berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«… فجرت بهم السفينة ستة أشهر، آخر ذلك يوم عاشوراء أهبط على الجودي، فصام نوح ومن معه والوحش شكرا لله عز وجل، وفي يوم عاشوراء أفلق الله البحر لبني إسرائيل، وفي يوم عاشوراء تاب الله عز وجل على آدم صلى الله عليه و سلم وعلى مدينة يونس، وفيه ولد إبراهيم صلى الله عليه و سلم».
“… maka berjalanlah kapal tadi membawa mereka selama enam bulan. Di akhirnya adalah hari Asyuro, kapal itu mendarat di gunung Judi, maka Nuh dan orang-orang yang bersamanya dan para binatang buas berpuasa dalam rangka syukur kepada Alloh عز وجل. Dan pada hari Asyuro Alloh membelah lautan untuk Bani Isroil, dan pada hari Asyuro Alloh عز وجل menerima taubat Adam صلى الله عليه وسلم dan taubat kota Yunus. Dan pada hari itu Ibrohim صلى عليه وسلم dilahirkan.” (HR. Ath Thobroniy dalam “Al Mu’jamul Kabir” (5538)).
Dalam sanadnya ada Utsman bin Mathor Asy Syaibaniy, munkarul hadits.
Dan Syaikhul Islam رحمه الله berkata dalam bantahan beliau terhadap berita-berita palsu tentang hari Asyuro: “Dan mereka meriwayatkan keutamaan-keutamaan dalam sholat hari Asyuro, dan meriwayatkan bahwasanya pada hari Asyuro itulah tobatnya Adam, menetap di atas gunung Judi, Yusuf dikembalikan kepada Ya’qub, penyelamatan Ibrohim dari Neraka, dan penebusan anak yang disembelih itu dengan kambing, dan yang selain itu.” (“Majmu’ul Fatawa”/25/hal. 300-301).
Hadits ketujuh:
Hadits marfu’:
«من صلي ركعتين في يوم عاشوراء يقرأ فيهما بكذا وكذا كتب له ثواب سبعين نبيا».
“Barangsiapa sholat dua rekaat pada hari Asyuro dan membaca di dalamnya demikian-dan demikian, ditulislah untuknya pahala tujuh puluh Nabi.”
Sanadnya tidak diketahui.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Seperti hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan amal yang bentuknya ngawur seperti yang diriwayatkan dari Nabi: “Barangsiapa sholat dua rekaat pada hari Asyuro dan membaca di dalamnya demikian-dan demikian, ditulislah untuknya pahala tujuh puluh Nabi.”
Dan yang seperti itu dan itu menurut para ahli hadits adalah termasuk dari hadits-hadita yang palsu. Maka tidaklah diketahui satu hadits yang menyelisihi akal atau dalil sam’iy (Qur’an atau sunnah) yang shohih kecuali bahwasanya hadits itu menurut para ulama adalah lemah bahkan palsu.” (“Dar’ut Ta’arudhil ‘Aql Wan Naql”/1/hal. 98).
Hadits kedelapan:
Ada hadits lain tentang keutamaan puasa hari Asyuro padahal itu adalah lemah:
عن علي : قال سأله رجل فقال: أي شهر تأمرني أن أصوم بعد شهر رمضان ؟ قال له: ما سمعت أحدا يسأل عن هذا إلا رجلا سمعته يسأل رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنا قاعد فقال: يا رسول الله أي شهر تأمرني أن أصوم بعد شهر رمضان؟ قال: «إن كنت صائما بعد شهر رمضان فصم المحرم فإنه شهر الله فيه يوم تاب فيه على قوم ويتوب فيه على قوم آخرين». (أخرجه الترمذي (741)).
Dari Ali رضي الله عنه bahwasanya ada orang yang bertanya pada beliau: “Bulan apakah yang Anda memerintahkan saya untuk puasa di situ setelah bulan Romadhon?” beliau menjawab: “Tidaklah aku mendengar ada orang yang bertanya tentang ini kecuali satu orang yang aku mendengarnya bertanya pada Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan aku sedang duduk, dia bertanya: “Wahai Rosululloh, Bulan apakah yang Anda memerintahkan saya untuk puasa di situ setelah bulan Romadhon?” Beliau menjawab: “Jika engkau mau berpuasa setelah bulan Romadhon, berpuasalah pada bulan Muharrom, karena dia itu adalah bulan Alloh, pada bulan itu Alloh menerima tobat suatu kaum dan akan menerima tobat kaum yang lain.” (HR. At Tirmidziy (741)).
Di dalam sanadnya ada Abdurrohman bin Ishaq. Abu Dawud berkata: “Aku mendengar Ahmad melemahkannya.” Abu Tholib menukilkan dari Ahmad: “Tidak ada apa-apanya, dia munkarul hadits.” Ad Duriy menukilkannya dari Ibnu Ma’in: “Dia lemah, tak ada apa-apanya.” Ibnu Sa’d, Ya’qub bin Sufyan, Abu Dawud, An Nasaiy dan Ibnu Hibban berkata: “Orang ini lemah.” (“Tahdzibut Tahdzib”/6/hal. 124).
Dan akan datang sedikit tambahan tentang berita-berita dusta tentang bulan Muharrom, di sela-sela pembahasan إن شاء الله.
Maka barangsiapa mengetahui betapa lemahnya berita-berita ini tadi, tidak boleh baginya membangun agamanya dengan berita tadi, bahkan cukuplah baginya riwayat yang telah tetap dari Nabi صلى الله عليه وسلم.
Bab Kedelapan: 
Peringatan Dari Kebid’ahan Di Bulan Muharrom
Sesungguhnya keutamaan bulan Muharrom –terutama hari Asyuro- itu telah tetap di dalam syariat, dan keutamaan tadi hanyalah didapatkan oleh orang yang beribadah pada Alloh ta’ala pada hari itu dengan bentuk yang disyariatkan, karena agama ini adalah agama Alloh, dan bulan Muharrom adalah bulan-Nya, maka Dia tidak menerima ibadah kecuali jika mencocoki syariat Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم .
Al ‘Irbadh bin Sariyah رضي الله عنه berkata:
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم، ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة، ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا رسول الله كأن هذه موعظة مودّع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: «أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبداً حبشيّاً، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيراً فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة».
Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah mengimami kami sholat pada suatu hari, kemudian beliau menghadapkan wajah pada kami, lalu menasihati kami dengan nasihat yang tajam, yang dengannya air mata berlinang, dan hati merasa takut. Maka seseorang berkata: “Wahai Rosululloh, seakan-akan ini adalah nasihat orang yang hendak berpisah, maka apakah perjanjian yang Anda ambil dari kami?” maka beliau bersabda: “Kuwasiatkan kalian untuk bertaqwa pada Alloh, dan mendengar dan taat kepada pemerintah, sekalipun dia itu adalah budak Habasyah, karena orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk memegang sunnahku dan sunnah Al Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang teguhlah dia dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hindarilah setiap perkara yang muhdats karena yang muhdats itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Abu Dawud (4594/Aunul Ma’bud/cet. Darul Kutubil Ilmiyyah) dan lainnya dihasankah oleh Al Wadi’iy -rohimahullohu- dalam “Ash Shohihul Musnad” (921)).
Dan dari ‘Aisyah رضي الله عنها yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ ».
“Barangsiapa membikin dalam urusan agama kami perkara yang tidak ada dalam agama kami, maka dia itu tertolak.” (HR. Al Bukhoriy (2697) dan Muslim (1718)).
Dari Abdulloh bin Amr رضي الله عنهما bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إن لكل عمل شرة، ولكل شرة فترة. فمن كانت فترته إلى سنتي فقد أفلح. ومن كانت فترته إلى غير ذلك فقد هلك».
“Sesungguhnya setiap amalan itu punya masa semangat, dan setiap masa semangat itu punya masa malas. Maka barangsiapa masa malasnya itu (diarahkan) kepada sunnah, maka sungguh dia telah beruntung. Dan barangsiapa masa malasnya itu (diarahkan) kepada yang selain itu maka sungguh dia telah binasa.” (HR. Ahmad (6764), dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Al Jami’ush Shohih” (3250)).
Dan dari seorang Anshor dari sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«فمن اقتدى بي فهو مني. ومن رغب عن سنتي فليس مني. إن لكل عمل شرة، ثم فترة فمن كانت فترته إلى بدعة فقد ضل، ومن كانت فترته إلى سنة فقد اهتدى».
“Maka barangsiapa meneladani diriku, maka dia termasuk dari golonganku. Dan barangsiapa membenci sunnahku, maka bukanlah dia itu dari golonganku.Sesungguhnya setiap amalan itu punya masa semangat, kemudian masa malas. Maka barangsiapa masa malasnya itu (diarahkan) kepada bid’ah, maka sungguh dia telah tersesat. Dan barangsiapa masa malasnya itu (diarahkan) kepada yang sunnah, maka sungguh dia telah mengikuti petunjuk.” (HR. Ahmad (23521), dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Al Jami’ush Shohih” (3251)).
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan agama Islam itu dibangun di atas dua dasar: tidaklah kita beribadah kecuali kepada Alloh, dan kita beribadah kepada-Nya dengan apa yang disyariatkan-Nya, dan kita tidak beribadah dengan kebid’ahan. Alloh ta’ala berfirman:
﴿فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا﴾ [ الكهف :110 ]
“Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaknya dia beramal sholih dan tidak menyekutukan siapapun dengan peribadatannya kepada Robbnya.”
Maka amal sholih adalah apa yang dicintai Alloh dan Rosul-Nya.” (“Majmu’ul Fatawa”/25/hal. 316-317).
Maka di antara bid’ah-bid’ah pada bulan Muharrom adalah:
Bid’ah Pertama: perayaan awal tahun hijriyyah
Abdulloh At Tuwaijiy حفظه الله dalam pembahasannya tentang bab ini berkata: “Pada permulaan setiap tahun hijriyyah sebagian negri Islam memperingati perayaan awal tahun, maka pekerjaan di hari sebelumnya diliburkan, dan juga di hari setelahnya. Dan tidaklah perayaan mereka itu punya sandaran syar’iy apapun, itu hanyalah kesukaan untuk mengekor dan menyerupai Yahudi dan Nashoro dalam perayaan mereka.
Dan yang pertama kali merayakan awal tahun hijriyyah –sebatas wawasan saya yang terbatas ini- adalah para penolong kebid’ahan: para pemimpin Negara Ubaidiyyah Fathimiyyah di Mesir. Al Maqriziy dalam “Khuthoth” beliau menyebutkan hal itu di antara hari-hari yang dijadikan oleh para Ubaidiyyin sebagai hari Id dan perayaan. Beliau berkata: “Musim di penghujung tahun: dulu para pemimpin Fathimiyyin punya perhatian dengan malam awal Muharrom di setiap tahun, karena dia itu adalah awal dari malam-malam tahun tersebut dan permulaan dari waktu-waktunya, …” selesai.
Kemudian beliau menyebutkan bekas-bekas yang tersisa pada musim itu, dan menyebutkan setelah itu musim di awal tahun dan perhatian mereka dengannya.
Dan perayaan awal tahun itu merupakan bagian dari id (perayaan) Yahudi yang disebutkan oleh Tauroh, dan mereka menamakannya dengan “Kepala Haisya” yaitu id permulaan bulan, dan itu adalah awal hari dari Tisyrin, posisinya menurut mereka adalah bagaikan Idul Adha bagi Muslimin. Mereka berkata: “Sesungguhnya Alloh عز جل memerintahkan Ibrohim untuk menyembelih anaknya yaitu Ishaq عليهما السلام pada hari itu([5]), lalu Alloh menebusnya dengan sembelihan yang besar.
Lalu datanglah orang-orang Nashroniy, membebek Yahudi, dan jadilah mereka memperingati malam akhir tahun Masehi. Dan perayaan ini menurut mereka memiliki jejak-jejak khusus. Yang demikian itu adalah bahwasanya di malam tersebut –malam hari pertama dari tahun baru- berkumpullah para peserta perayaan dan mereka begadang di hadapan hidangan makanan dan minuman yang halal dan yang harom, di tempat-tempat umum untuk makan, minum, berjoget dan bermain-main. Maka jika jam dua belas telah datang –dengan perhitungan tergelincirnya matahari- yaitu di tengah malam, lampu-lampu dipadamkan, dan setiap orang menghadap ke orang yang di sisinya selama lebih dari lima menit, dan tempat-tempat tempat tersebut diurutkan sehingga setiap lelaki di sampingnya adalah perempuan, sama saja apakah dia mengenalnya ataukah tidak mengenalnya. Masing-masing dari mereka tahu bahwasanya temannya akan menciumnya pada waktu lampu-lampu dipadamkan([6]). Dan tidaklah maksud dari pemadaman itu untuk menutupi perbuatan tadi, akan tetapi mereka mengungkapkan dengan itu ujung dari tahun dan permulaan tahun baru.
Maka dengan itu engkau dapati kebanyakan dari pemuda muslimin dan orang-orang yang telah beruban dari mereka ingin sekali hadir di acara-acara perayaan ini, sama saja apakah itu di negri-negri mereka ataukah di negri-negri Barat atau Timur agar tidak luput dari mereka acara-acara ini. Dan mereka di jalan itu rugi harta yang banyak sekali, dan merka menilai yang demikian itu adalah kesempatan yang wajib dimanfaatkan karena dia itu –sebagaimana dugaan mereka- adalah termasuk malam-malam yang tak terlupakan!
Perayaan tadi tidak terbatas pada orang-orang Nashoro saja, bahkan kebanyakan dari negri-negri Islam yang bisa jadi di dalamnya ada beberapa persen dari orang-orang Nashoro meskipun sedikit, masyarakatnya merayakan acara Tahun Baru Masehi.
Dan menjalarlah perbuatan mengekor tadi kepada bentuk mereka membikin perayaan di penghujung tahun Hijriyyah juga, akan tetapi acaranya berbeda. Dan tiada keraguan bahwasanya di dalam perayaan tadi -perayaan di penghujung tahun Hijriyyah- merupakan perkara muhdats (baru) mubtada’ (yang dibikin-bikin dalam agama), tidak ada dalilnya dari Nabi صلى الله عليه وسلم ataupun dari seorangpun dari para Shohabat رضوان الله عليهم dan tidak pula dari Salaf yang sholih dari kalangan Tabi’in dan pengikut mereka serta para tokoh umat dan para ulamanya, dari kalangan imam yang empat dan yang lainnya رحمة الله عليهم . Akan tetapi hal itu terjadi setelah generasi-generasi yang diutamakan, setelah muslimin bercampur dengan orang lain dari kalangan Yahudi dan Nashoro, dan masuklah ke dalam Islam orang yang ingin dengan itu merusak Islam bagi pemeluknya, sehingga jadilah mereka merayakan hari raya Yahudi dan Nashoro. Dan ini adalah pembenaran bagi sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
«لتتبعن سنن من كل قبلكم …»
“Pastilah kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian, …” al hadits([7])
Sebagian ahli bid’ah membikin doa untuk dua malam: di awal hari dari tahun itu dan di akhir tahun, dan jadilah masyarakat di sebagian negri Islam mengulang-ulangnya bersama para imam mereka di sebagian masjid. Dan doa ini tidak didapati dalilnya dari Nabi صلى الله عليه وسلم , ataupun dari para Shohabat beliau ataupun dari Tabi’in, dan tidak diriwayatkan dalam satu kitab musnadpun.
Dan ini adalah nash dari doa tadi:
اللهم ما عملته في هذه السنة مما نهيتني عنه ولم ترضه ، ونسيته ولم تنسه ، وحلمت عليَّ في الرزق بعد قدرتك على عقوبتي ، ودعوتني إلى التوبة بعد جراءتي على معصيتك ، اللهم إني أستغفرك منه فاغفر لي ، وما عملته فيها من عمل ترضاه ووعدتني عليه الثواب فأسألك يا كريم ، يا ذا الجلال والإكرام أن تقبله مني ، ولا تقطع رجائي منك يا كريم ، وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم .
“Ya Alloh, apa yang saya amalkan di tahun ini, dari perkara yang Engkau melarang saya darinya dan tidak Engkau ridhoi, dan saya lupakan dan tidak Engkau lupakan, dan Engkau sabar kepada saya dalam memberi rizqi setelah kemampuan-Mu untuk menghukum saya, dan Engkau menyeru saya untuk bertobat setelah kelancangan saya durhaka kepada-Mu, ya Alloh sungguh saya mohon ampun kepada-Mu dari dosa itu, maka ampunilah saya. Dan apa yang saya amalkan di dalamnya yang berupa amalan yang Engkau ridhoi dan Engkau janjikan saya dengan pahala, saya mohon kepada-Mu wahai Yang Maha Dermawan, wahai Yang Memiliki Keagungan dan Pemuliaan, agar Engkau menerimanya dari saya, dan janganlah Engkau memutuskan harapan saya darimu wahai Yang Maha Dermawan. Dan semoga sholawat dan salam Alloh tercurah kepada tuan kami Muhammad, dan kepada keluarganya dan sahabatnya.”
Dan mereka berkata: sesungguhnya setan berkata: “Kita telah capek bersamanya sepanjang tahun, lalu dia merusak kerja kita dalam satu waktu.” Dan mereka menaburkan debu ke wajahnya. Sebelum doa ini dibaca, dilaksanakanlah sholat sepuluh rekaat, di setiap rekaat membaca Al Fatihah, lalu membaca Ayat Kursi sepuluh kali, dan Al Ikhlas sepuluh kali.
Dan tidaklah tersamarkan bagi penuntut ilmu bahwasanya doa adalah ibadah, dan ibadah-ibadah itu tauqifiyyah (mengikuti ketentuan dari Alloh dan Rosul-Nya). Dan doa ini tidak datang dari Nabi صلى الله عليه وسلم , dan tidak disebutkan dari satu orang Shohabatpun رضي الله عنهم sebagaimana terdahulu.
Dan di antara yang dibikin-bikin juga di dua hari: akhir tahun dan awal tahun, adalah puasa di sua hari itu. Dan para ahli bid’ah bersandarkan pada hadits:
«من صام آخر يوم من ذي الحجة ، وأول يوم من الحرم ، فقد ختم السنة الماضية ، وافتتح السنة المستقبلة بصوم جعل الله له كفارة خمسين سنة».
“Barangsiapa berpuasa di akhir hari dari Dzul Hijjah, dan awal hari dari Muharrom, maka sungguh dia telah menutup tahun lalu dan membuka tahun yang datang dengan puasa, Alloh menjadikan untuknya penghapusan dosa selama limapuluh tahun.”
(selesai penukilan dari “Al Bida’ul Hauliyyah”/karya Abdulloh At Tuwaijiriy.hal. 392-396).
Saya katakan: hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauziy di “Al Maudhu’at” (2/hal. 199) dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما , di dalam sanadnya ada Ahmad bin Abdulloh Al Harowiy dan Wahb bin Wahb. Ibnul Jauziy رحمه الله berkata: “Al Harowiy adalah Al Juwaibariy, dan Wahb, keduanya itu pendusta, pembikin hadits palsu.”
Bid’ah Kedua: Meratap terhadap Al Husain bin Ali, memukul pipi, merobek krah baju, mengutuk sebagian orang sholih, melukai kepala dan badan, dan bid’ah-bid’ah rofidhoh yang lain
Memang Al Husain bin Ali bin Abi Tholib رضي الله عنهما , cucu Rosululloh صلى الله عليه وسلم terbunuh di Karbala pada hari Asyuro. Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Kemudian memasuki tahun enam puluh satu. Tahun ini dimulai dalam keadaan Al Husain bin Ali berjalan ke Kufah, antara Makkah dan Iroq, dan beliau disertai para sahabatnya dan kerabatnya. Lalu beliau terbunuh pada hari Asyuro dari bulan Muharrom dari tahun ini, menurut pendapat yang terkenal.” (“Al Bidayah Wan Nihayah”/8/hal. 172).
Akan tetapi bukanlah termasuk dari syariat Alloh ta’ala untuk hari wafatnya seseorang itu dijadikan sebagai hari berkabung.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan jadilah kebid’ahan, hawa nafsu dan kedustaan itu bertambah, hingga terjadilah perkara yang panjang penjelasannya, seperti apa yang dibikin-bikin oleh kebanyakan generasi terakhir pada hari Asyuro. Ada satu kaum yang menjadikannya sebagai hari berkabung, di situ mereka menampakkan ratapan dan keluhan, penyiksaan jiwa, kezholiman terhadap binatang-binatang, mencaci para wali Alloh yang telah meninggal, kedustaan terhadap ahli bait Nabi, dan kemungkaran-kemungkaran yang lain yang dilarang oleh Kitabulloh dan sunnah Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan kesepakatan muslimin.” (“Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 511).
Beliau رحمه الله juga berkata: “Maka perkara yang dihiasi oleh setan untuk para pelaku kesesatan yang berupa menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung, dan perkara yang mereka bikin yang berupa panggilan, ratapan, mengumandangkan syair-syair kesedihan, riwayat-riwayat berita yang di dalamnya ada kedustaan yang banyak, sementara kejujuran di dalamnya tidak ada kecuali memperbarui kesedihan dan fanatisme, mengobarkan kebencian dan peperangan, melemparkan fitnah di antara muslimin, menjadikan itu sebagai sarana untuk mencaci Sabiqunal awwalun, banyaknya kedustaan, fitnah di dunia, dan tidak dikenal kelompok Islam yang lebih banyak kedustaannya, fitnahnya dan bantuannya kepada orang kafir untuk memusuhi umat Islam daripada kelompok yang sesat ini, karena mereka itu lebih buruk daripada khowarij yang keluar dari Islam.” (“Majmu’ul Fatawa”/25/hal. 309).
Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Adapun menjadikan hari itu sebagai hari berkabung sebagaimana yang dilakukan oleh Rofidhoh dikarenakan matinya Al Husain bin Ali رضي الله عنهما pada hari itu: maka itu adalah termasuk amalan orang yang sesat usahanya dalam kehidupan dunia dalam keadaan dia menyangka dia telah memperbagus perbuatan, dan Alloh dan Rosul-Nya tidak memerintahkan untuk menjadikan hari-hari musibah para Nabi dan kematian mereka sebagai hari berkabung, maka bagaimana dengan orang yang lebih rendah daripada mereka?” (“Lathoiful Ma’arif”/hal. 77/cet. Darul Hadits).
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Rofidhoh di pemerintahan Bani Buwaih pada tahun empat ratusan telah melampaui batas. Gendang-gendang ditabuh di Baghdad dan di negri-negri yang lain pada hari Asyuro, menaburkan abu dan jerami di jalanan dan pasar-pasar, kain usang digantungkan di toko-toko, dan orang-orang menampakkan kesedihan dan tangisan, dan kebanyakan mereka tidak minum air pada malam itu untuk mencocoki Husain karena beliau terbunuh dalam keadaan haus. Kemudian perempuan keluar dengan memamerkan wajah mereka, meratap, menampari wajah dan dada mereka, berjalan di pasar tanpa sandal, dan bid’ah-bid’ah buruk yang lain dan hawa nafsu yang menjijikkan serta pembongkaran aib yang dibikin-bikin. Mereka berbuat itu dan semacamnya hanyalah karena mereka ingin mencerca Bani Umayyah karena Al Husain terbunuh dalam pemerintahan mereka.” (“Al Bidayah Wan Nihayah”/8/hal. 202).
Bid’ah ketiga: bersungguh-sungguh mandi dan bercelak di hari Asyuro
Amalan ini dan keceriaan yang lainnya dilakukan oleh para pembenci Rofidhoh. Mereka melawan bid’ah dengan bid’ah yang lain.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan ada kaum yang menampilkan sunnah dan meriwayatkan dan diriwayatkan untuk mereka hadits-hadits palsu, mereka membangun di atas itu apa yang mereka jadikan sebagai syi’ar pada hari ini, yang dengannya mereka menentang kaum tadi (Rofidhoh). Mereka menghadapi kebatilan dengan kebatilan, dan membantah bid’ah dengan bid’ah pula, dan sekalipun yang satunya lebih besar dalam kerusakan dan lebih membantu orang-orang yang menyeleweng dari Islam. Misalnya adalah hadits panjang yang diriwayatkan tentang itu:
«من اغتسل يوم عاشوراء لم يمرض ذلك العام، ومن اكتحل يوم عاشوراء لم يرمد ذلك العام».
“Barangsiapa mandi pada hari Asyuro dia tak akan sakit pada tahun itu. Dan barangsiapa bercelak dengan itsmid pada hari Asyuro, dia tak akan kena penyakit mata sejak tahun itu.”
Dan semisal itu adalah hadits bersemir rambut pada hari Asyuro dan berjabat tangan di hari itu. Dan seperti hadits itu. Karena sesungguhnya hadits ini dan semisalnya adalah kedustaan yang dibikin-bikin. Hukum ini berdasarkan kesepakatan orang yang tahu ilmu hadits, sekalipun sebagian ahli hadits telah menyebutkannya dan berkata: “Dia itu shohih dan sanadnya berdasarkan syarat shohih,” maka ini adalah kekeliruan yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagaimana dijelaskan di tempat lain.
Dan satu orangpun dari imam muslimin tidak mensunnahkan mandi di hari Asyuro, ataupun bercelak dan menyemir rambut di hari itu, dan amalan semisal itu. Dan satu orangpun dari ulama muslimin yang menjadi teladan dan menjadi rujukan dalam mengetahui perintah dan larangan Alloh tidak menyebutkan itu. Hal itu juga tidak dikerjakan oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم , Abu Bakr, Umar, Utsman ataupun Ali.
Hadits macam ini tidak disebutkan sedikitpun di kitab-kitab yang disusun oleh para ulama hadits, tidak ada di musnad-musnad seperti musnad Ahmad, Ishaq, Ahmad bin Mani’ Al Humaidiy, Ad Dalaniy, Abu Ya’la Al Maushiliy dan semisal itu. Tidak ada pula dalam karangan-karangan yang disusun berdasarkan bab-bab, seperti Shohih dan Sunan, dan tidak pula di kitab-kitab yang mengumpulkan Musnad dan Atsar, seperti Muwaththo Malik, Waki’, Abdurrozzaq, Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan semisal itu.
(selesai penukilan dari “Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 513-514).
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Orang-orang Nawashib dari penduduk Syam membalik perbuatan Rofidhoh dan Syi’ah pada hari Asyuro. Mereka pada hari Asyuro memasak biji-bijian, mandi, memakai minyak wangi, memakai baju mereka yang paling mewah dan menjadikan hari itu sebagai Id, di situ mereka membikin aneka makanan dan menampakkan kegembiraan dan kesenangan. Mereka dengan itu ingin menentang dan melawan Rofidhoh.
Orang yang membunuh Husain membuat penakwilan bahwasanya Husain datang untuk memecah-belah kalimat muslimin setelah kesepakatan terbentuk, dan ingin agar orang-orang yang membaiat beliau dan berkumpul untuk beliau itu melepaskan bai’at mereka, sebagaimana datang dalam Shohih Muslim hadits yang menghardik perbuatan itu, memperingatkan dari itu, dan mengancam orang yang berbuat itu.
Bisa jadi yang melakukan pembunuhan tadi adalah kelompok orang-orang bodoh yang melakukan takwil dan membunuh beliau, tapi mereka tidak berhak untuk membunuh beliau. Bahkan mereka wajib untuk memenuhi permintaan beliau dari tiga permintaan yang telah tersebut sebelumnya. Maka jika sekelompok orang-orang kejam dicela, lantas umat seluruhnya ikut dicela, dan Nabi mereka صلى الله عليه وسلم juga dituduh. Maka perkaranya tidaklah seperti yang mereka yakini, dan tidak seperti yang mereka tempuh. Bahkan kebanyakan para imam yang dulu dan belakangan benci atas pembunuhan yang terjadi terhadap Husain dan para sahabat beliau. Kecuali sekelompok kecil dari penduduk Kufah, semoga Alloh memburukkan mereka. Kebanyakan orang-orang tadi menulis surat ke Husain sebagai sarana untuk mencapai hasrat dan maksud mereka yang rusak.
Manakala Ubaidulloh bin Ziyad mengetahui maksud orang-orang tadi, dia memberikan pada mereka kesenangan dunia yang mereka inginkan, lalu mengambil mereka untuk itu, dan membawa mereka untuk ikut menyerang beliau dengan iming-iming dan ancaman, sehingga mereka tidak jadi membantu Al Husain dan bahkan menelantarkan beliau, kemudian membunuh beliau. Dan tidaklah seluruh pasukan rela dengan pembunuhan beliau sebagaimana kenyataannya, bahkan Yazid bin Mu’awiyah juga tidak rela dengan itu, wallohu a’lam, dan tidak juga membenci itu. Yang hampir-hampir menjadi dugaan kuat adalah bahwasanya Yazid jika bisa menangkap beliau sebelum beliau terbunuh, pastilah dia memaafkan beliau sebagaimana yang diwasiatkan oleh ayahnya, sebagaimana dirinya terang-terangan menyatakan itu dari dirinya. Yazid telah mengutuk Ibnu Ziyad dikarenakan perbuatannya itu, dan mencacinya, sebagaimana yang nampak, akan tetapi dia tidak juga mencopot Ziyad dengan sebab itu, dan tidak menghukumnya, dan tidak mengutus orang yang mencelanya atas perbuatan itu. Wallohu a’lam.
Maka setiap muslim harus merasa sedih dengan kematian Husain رضي الله عنه, karena beliau termasuk pemimpin muslimin dan ulama Shohabat serta anak dari putri Rosululloh صلى الله عليه وسلم , yang mana Fathimah adalah anak perempuan Rosululloh yang paling utama. Dan Husain itu ahli ibadah, pemberani dan dermawan.
Akan tetapi keluhan dan kesedihan yang ditampilkan oleh Syi’ah itu tidaklah baik. Barangkali kebanyakannya hanyalah bikin-bikinan dan riya. Dulu ayah Husain itu lebih utama daripada Husain, lalu beliau terbunuh, tapi mereka tidak menjadikan hari terbunuhnya beliau itu sebagai hari berkabung sebagaimana hari terbunuhnya Husain. Ayahnya terbunuh di hari Jum’at dalam keadaan keluar rumah untuk sholat fajar, pada tanggal tujuh belas Romadhon tahun empat puluh. Demikian pula Utsman, beliau lebih utama daripada Ali menurut Ahlussunnah Wal jama’ah. Beliau terbunuh dalam keadaan terkepung di rumah beliau pada hari-hari Tasyriq pada bulan Dzul Hijjah tahun tigapuluh enam, dalam keadaan beliau mengalami penderitaan yang amat sangat. Tapi orang-orang tidak menjadikan hari terbunuhnya beliau sebagai hari berkabung.
Demikian pula Umar ibnul Khoththob, dan beliau itu lebih utama daripada Utsman dan Ali. Beliau terbunuh dalam keadaan berdiri sholat fajar di tempat sholat beliau sambil membaca Al Qur’an. Tapi orang-orang tidak menjadikan hari terbunuhnya beliau sebagai hari berkabung. Demikian pula Ash Shiddiq, beliau itu lebih utama daripada dia. Tapi orang-orang tidak menjadikan hari terbunuhnya beliau sebagai hari berkabung. Dan Rosululloh صلى الله عليه وسلم pemimpin keturunan Adam di dunia dan akhirat. Alloh mewafatkan beliau kembali kepada-Nya sebagaimana wafatnya para Nabi sebelum beliau. Tapi tiada seorangpun yang menjadikan hari kematian mereka sebagai hari berkabung, melakukan di situ sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh dari Rofidhoh itu pada hari terbunuhnya Husain.
(selesai penukilan dari “Al Bidayah Wan Nihayah”/8/hal. 202-203).
Bid’ah keempat: bersungguh-sungguh mengerjakan sholat untuk hari Asyuro
Termasuk dari perkara yang dibikin-bikin pada bulan Muharrom adalah: bersungguh-sungguh mengerjakan sholat pada malam Asyuro dengan sebab malam itu adalah malam Asyuro. Sebagian dari mereka berdalilkan dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من أحيى ليلة عاشوراء فكأنما عبدالله تعالى بمثل عبادة أهل السموات ، ومن صلى أربع ركعات ، يقرأ في كل ركعة الحمد مرة ، وخمسة مرة قل هو الله أحد ، غفر الله له ذنوب خمسين عاما ماض ، وخمسين عاما مستقبل ، وبنى له في المثل الأعلى ألف ألف منبر من نور» .
“Barangsiapa menghidupkan malam Asyuro maka seakan-akan dia beribadah pada Alloh ta’ala seperti ibadahnya penduduk langit. Dan barangsiapa sholat empat rekaat dan membaca di setiap rekaatnya Al Hamdulillah satu kali, dan Qul Huwallohu ahad lima kali, Alloh akan mengampuni dosa-dosanya lima puluh tahun yang telah lewat, dan lima puluh tahun kedepan, dan membangun untuknya di permisalan yang tertinggi satu juta mimbar dari cahaya.”
Ibnul Jauziy رحمه الله berkata: “Hadits ini tidak shohih dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم . Hadits ini telah dimasukkan kepada sebagian orang terakhir dari kaum yang lalai. Abdurrohman bin Abiz Zinad (salah satu rowi hadits ini) majruh (tercela periwayatannya). Ahmad berkata: “Orang ini haditsnya goncang.” Yahya berkata: “Orang ini haditsnya tak bisa dijadikan sebagai hujjah.” (“Al Maudhu’at”/karya Ibnul Jauziy/2/hal. 122).
Dan termasuk dari itu adalah bersungguh-sungguhnya mereka untuk sholat di hari Asyuro, karena hari itu adalah Asyuro. Sebagian dari mereka berdalilkan dengan hadits Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من صلى يوم عاشوراء ما بين الظهر والعصر أربعين ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة ، وآية الكرسي عشر مرات ، وقل هو الله أحد إحدى عشرة مرة ، والمعوذتين خمس مرات، فإذا سلم استغفر سبعين مرة ، أعطاه الله في الفردوس قبة بيضاء فيها بيت من زمردة خضراء ، سعة ذلك البيت مثل الدنيا ثلاث مرات ، وفى ذلك البيت سرير من نور ، قوائم السرير من العنبر الأشهب ، على ذلك السرير ألفا فراش من الزعفران».
“Barangsiapa sholat pada hari Asyuro di antara zhuhur dan ashr empat puluh rekaat, di setiap rekaatnya membaca Fatihatul Kitab sekali, dan Ayat Kursi sepuluh kali, Qul Huwallohu ahad sebelas kali, Mu’awwidzatain lima kali, dan jika menggucapkan salam dia beristighfar tujuh puluh kali, Alloh akan memberinya di Firdaus kubah putih di dalamnya ada rumah dari Zamrud hijau, luas rumah itu seperti tiga kali dunia, dan di dalam rumah itu ada ranjang dari cahaya, kaki-kakinya dari anbar putih, dan di atas ranjang itu ada seribu kasur dari za’faron.”
Ibnul Jauziy رحمه الله berkata: “Ini adalah hadits palsu. Dan kalimat-kalimat Rosululloh عليه السلام tersucikan dan pencampuran semacam ini. Para rowinya tidak dikenal. Yang tertuduh memalsukan adalah Al Husain.” (“Al Maudhu’at”/Ibnul Jauziy/2/hal. 122-123).
Yang dimaksud dengan Al Husain adalah Al Husain bin Ibrohim yang meriwayatkan dari Al Hasan bin Ali bin Ja’far. Abul Wafa Ibrohim Ath Thorobilisiy رحمه الله berkata tentang Al Husain ini: “Dajjal.” (“Al Kasyful Hatsits”/hal. 96).
Jika kita telah mengetahui bahwasanya berita-berita tadi adalah dusta atas nama Rosululloh صلى الله عليه وسلم maka tidak halal bagi kita untuk mengamalkannya.
Sesungguhnya sholat adalah amalan yang paling utama, akan tetapi barangsiapa melakukannya bukan berdasarkan petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم maka sholatnya akan tertolak. Barangsiapa beribadah pada Alloh dengan menyelisihi syariat Nabi صلى الله عليه وسلم maka sungguh dia telah membikin kebid’ahan dalam Islam, seakan-akan dia menyatakan bahwasanya agama itu butuh kepada penyempurnaan. Dan ini adalah kesesatan yang jelas. Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
أما بعد؛ فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة.
“Kemudian sesudah itu, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad , dan sejelek-jelek urusan adalah muhdatsah (yang dibikin-bikin), dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim (867) dari Jabir رضي الله عنه).
Al Imam Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Maka seorang mubtadi’ itu hanyalah kesimpulan sikap dia atau ucapan dia itu adalah: bahwasanya syariat belum sempurna. Masih tersisa darinya perkara-perkara yang harus atau mustahab untuk disusulkan, karena andaikata dia meyakini bahwasanya syariat itu telah sempurna dan lengkap dari segala sisi, tidaklah dia akan membikin bid’ah dan tidak menyusuli syariat dengan perkara tambahan. Dan orang yang mengucapkan ini telah tersesat dari jalan yang lurus.”
Ibnul Majisyun berkata: “Aku mendengar Malik berkata: “Barangsiapa membikin bid’ah dalam Islam dan memandangnya baik, maka dia telah menyangka bahwasanya Muhammad صلى الله عليه وسلم itu mengkhianati risalah, karena Alloh berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ [المائدة: 3]
“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian”
Maka perkara yang pada hari itu tidak menjadi agama, maka pada hari ini juga tidak menjadi agama.” (“Al I’tishom”/hal. 33).
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan lebih keras dari itu adalah apa yang disebutkan oleh sebagian penulis “Ar Roqoiq Wal Fadhoil” (pelembut jiwa dan keutamaan) tentang sholat mingguan dan sholat tahunan: seperti sholat hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu. Disebutkan di kitab Abu Tholib, Abu Hamid, Abdul Qodir dan lainnya. Dan seperti sholat Alfiyyah (seribuan) yang dilakukan di awal Rojab, pertengahan Sya’ban, sholat Itsna ‘Asyariyyah (dua belas) yang ada di awal malam Jum’at dari bulan Rojab, sholat yang ada di malam dua puluh tujuh Rojab, dan sholat-sholat yang lain yang disebutkan di bulan-bulan yang tiga, sholat dua malam Id, sholat hari Asyuro, dan semisal itu yang diriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلم , bersamaan adanya kesepakatan orang-orang yang tahu hadits Nabi bahwasanya itu tadi adalah kedustaan atas nama Nabi. Akan tetapi hadits tadi sampai ke beberapa orang ulama dan dan ahli agama, lalu mereka menduga bahwasanya hadits tadi shohih, maka mereka mengamalkannya. Mereka dapat pahala atas niat baik mereka dan kesungguhan mereka, bukan dapat pahala karena menyelisihi sunnah.
Adapun orang yang telah jelas baginya sunnah, lalu dia mengira bahwasanya yang lain itu lebih baik daripada sunnah, maka orang ini adalah sesat, mubtadi’ dan bahkan kafir.
(selesai penukilan dari “Majmu’ul Fatawa”/24/hal. 201-201).
Yang saya sebutkan ini tadi barulah sebagian dari kebid’ahan yang terkait dengan bulan Muharrom, dan saya tidak menyebutkan secara keseluruhan. Maka hamba Alloh harus mengikuti Rosul صلى الله عليه وسلم dan tidak boleh baginya untuk beribadah pada Alloh dengan kebid’ahan sehingga menjadi orang yang sesat keluar dari jalan yang lurus.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Maka petunjuk tanpa bimbingan dari Alloh atau yang selain itu adalah kesesatan. Dan kita wajib untuk mengikuti apa yang diturunkan dari Robb kita yang berupa Al Kitab dan Al Hikmah, dan kita setia dengan jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Alloh dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin, dan kita semua berpegang dengan tali Alloh dan tidak bercerai-berai. Kita memerintahkan dengan apa yang Alloh perintahkan, dan itulah perkara yang ma’ruf. Dan kita melarang dari apa yang dilarang-Nya, dan itulah perkara munkar. Dan kita bersungguh-sungguh ikhlas untuk Alloh dalam beramal, karena inilah dia agama Islam. Alloh ta’ala berfirman:
﴿بلى من أسلم وجهه لله وهو محسن فله أجره عند ربه ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون﴾ [ البقرة : 112 ]
“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Robbnya, dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Alloh ta’ala berfirman:
﴿ومن أحسن دينا ممن أسلم وجهه لله وهو محسن واتبع ملة إبراهيم حنيفا واتخذ الله إبراهيم خليلا﴾[ النساء : 125 ] .
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”
(selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 514-515).
Bab Kesembilan: Peringatan Terhadap Akhir Hayat Yang Buruk
Jika kita telah mengetahui pentingnya memperbagus amalan untuk kehidupan setelah mati, maka kita harus waspada bahwasanya penjegal yang terbesar adalah: ketertipuan dengan perhiasan dunia. Alangkah banyaknya orang-orang yang terbunuh karena dunia, habis-habisan dalam rangka dunia sampai datang kepadanya kematian sehingga dia menyesal, padahal saat itu bukanlah waktu untuk menyesal. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَذَكِّرْ بِهِ أَنْ تُبْسَلَ نَفْسٌ بِمَا كَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا مِنْ دُونِ الله وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ وَإِنْ تَعْدِلْ كُلَّ عَدْلٍ لَا يُؤْخَذْ مِنْهَا أُولَئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا لَهُمْ شَرَابٌ مِنْ حَمِيمٍ وَعَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ ﴾ [الأنعام: 70]
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa’at selain dari Alloh. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu darinya. mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.”
Alloh Yang Mahasuci berfirman:
﴿يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ ﴾ [الأنعام: 130]
“Hai seluruh jin dan manusia, apakah belum datang kepada kalian para utusan dari golongan kalian sendiri, yang menyampaikan kepada kalian ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepada kalian terhadap pertemuan kalian dengan hari ini?” Mereka berkata: “Kami menjadi saksi terhadap diri kami sendiri”, dan kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”
Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَنَادَى أَصْحَابُ النَّارِ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ أَفِيضُوا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاءِ أَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ الله قَالُوا إِنَّ الله حَرَّمَهُمَا عَلَى الْكَافِرِينَ * الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَذَا وَمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ ﴾ [الأعراف: 50، 51].
“Dan penghuni neraka menyeru penghuni Jannah: “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah dirizkikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni Jannah) menjawab: “Sesungguhnya Alloh telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir, (yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan Pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami.”
Alloh Yang Mahasuci berfirman:
﴿كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴾ [آل عمران/185]
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Dan hanyalah pahala kalian itu akan dicukupi pada hari Kiamat. Maka barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam Jannah, maka sungguh dia itu beruntung. Dan tidaklah kehidupan dunia itu kecuali kesenangan yang menipu.”
Jika ada orang berkata: “Tidaklah membahayakan diriku habis-habisan dalam rangka dunia, karena aku telah mempersiapkan untuk kematianku syahadat La Ilaha Illalloh. Barangsiapa akhir ucapannya adalah La Ilaha Illalloh maka dia akan masuk Jannah!”
Kita jawab –semoga Alloh memberikan taufiq-: kita beriman bahwasanya Barangsiapa akhir ucapannya adalah La Ilaha Illalloh maka dia akan masuk Jannah([8]). Akan tetapi alangkah banyaknya orang yang saat dihadiri kematian ternyata dia dihalangi dari kalimat syahadat di saat dia paling butuh dengan kalimat itu. Suul khotimah (akhir hayat yang buruk) itu terjadi pada orang-orang yang menenggelamkan kehidupannya dalam kesibukan dengan dunia. Mereka itulah orang-orang yang Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda tentang mereka:
«تعس عبد الدينار وعبد الدرهم وعبد الخميصة إن أعطي رضي وإن لم يعط سخط تعس وانتكس وإذا شيك فلا انتقش. طوبى لعبد آخذ بعنان فرسه في سبيل الله أشعث رأسه مغبرة قدماه إن كان في الحراسة كان في الحراسة وإن كان في الساقة كان في الساقة إن استأذن لم يؤذن له وإن شفع لم يشفع». (أخرجه البخاري (2887)، عن أبي هريرة رضي الله عنه).
“Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham, celakalah budak khomishoh (kain hitam yang ada lambing-lambangnya). Jika dia diberi dia merasa ridho, tapi jika tidak diberi dia marah. Celakalah dia dan semoga dia terjungkal. Dan jika sia tertusuk duri semoga dia tak bisa mencabutnya. Sungguh beruntang seorang hamba yang memegang kendali kudanya di jalan Alloh. Rambutnya acak-acakan, kedua kakinya berdebu. Jika diperintahkan untuk berjaga, dia setia di penjagaan. Jika diperintahkan di garis paling belakang, maka diapun ada di garis belakang tersebut. Jika dia minta idzin, dia tidak diidzinkan. Jika dia memberikan syafaat, maka dia tidak diterima syafaatnya.” (HR. Al Bukhoriy (2887), dari Abu Huroiroh رضي الله عنه).
Kelompok yang pertama dia itulah yang habis-habisan untuk mencari dunia, dan lebih mengutamakan dunia. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم mendoakan kecelakaan untuknya. Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan ini adalah keadaan orang yang jika tertimpa kejelekan dia tak bisa keluar darinya, dan tidak beruntung, karena dia itu celaka dan terjungkal. Maka dia tidak mendapatkan apa yang dicarinya dan tidak bisa selamat dari perkara yang dibencinya. Dan ini adalah kondisi orang yang menghamba pada harta.” (“Majmu’ul Fatawa”/10/hal. 180).
Dan kelompok kedua: adalah orang yang menghadapkan diri kepada Alloh dengan keseluruhan dirinya, maka Nabi صلى الله عليه وسلم mendoakan keberuntungan untuknya. Badrud Din Al ‘Ainiy رحمه الله berkata: “Isyarat kepada tidak menolehnya orang ini kepada dunia dan para pemilik dunia, yang mana dia menghabiskan keseluruhan dirinya untuk mengurusi dirinya sendiri, tidak memburu harta, ataupun kewibawaan di mata manusia, akan tetapi dia di sisi Alloh adalah orang yang mulia. Orang-orang tidak menerima syafaatnya, tapi di sisi Alloh dia itu dalah pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.” (“Umdatul Qori”/21/hal. 369).
Maka kelompok pertama itulah yang mayoritas dari mereka tertimpa akhir hayat yang buruk.
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Sesungguhnya hamba tadi jika terjatuh dalam kesulitan, kesukaran besar, atau bencana, hatinya, lidahnya dan anggota badannya akan mengkhianatinya dari perkara yang paling bermanfaat untuknya. Maka hatinya tidak tertarik untuk bertawakkal kepada Alloh ta’ala ataupun kembali dengan cepat kepada-Nya, konsentrasi kepada-Nya, merunduk dan menghinakan diri kepada-Nya, merasa luluh di hadapan-Nya. Dan lidahnya tak mau menaatinya untuk mengingat Alloh. Kalaupun lidahnya menyebut nama Alloh, tidaklah hati dan lidahnya bersatu, sehingga hatinya tidak tertahan pada lidahnya dalam bentuk bahwasanya dzikirnya tadi memberikan pengaruh, dan tidak pula lidah dan hatinya tertahan pada Dzat yang sedang disebut. Bahkan jika dia berdzikir atau berdoa, adalah dengan hati yang lalai, main-main dan lupa. Dan jika dia anggota badannya membantunya untuk taat, ternyata mereka menolak dan tidak tunduk kepadanya dan tidak menaatinya. Ini semua adalah pengaruh dari dosa-dosa dan kedurhakaan.
Seperti orang yang punya tentara yang membelanya dari para musuh, tapi dia menelantarkan tentaranya tadi dan menyia-nyiakan mereka, melemahkan mereka dan memutuskan berita-berita mereka. kemudian ketika musuh menyerbunya, dia ingin para tentaranya itu mencurahkan kemampuan mereka untuk membela dirinya tanpa ada kekuatan.
Ini, dan di sana ada perkara yang lebih menakutkan daripada itu, dan lebih berat dan lebih pahit, yaitu: hati dan lidahnya mengkhianatinya ketika telah datang kematian dan berpindah kepada Alloh ta’ala. Bisa jadi dia tidak bisa mengucapkan syahadat, sebagaimana orang-orang menyaksikan kejadian macam ini di kebanyakan orang-orang yang tengah dihadiri kematian, mereka tertimpa itu sampai-sampai dikatakan kepada sebagian dari mereka: “Ucapkanlah La Ilaha Illalloh” maka dia berkata: “Ah, ah, aku tak sanggup mengucapkannya.”
Dikatakan kepada yang lain: “Ucapkanlah La Ilaha Illalloh” maka dia berkata: “Syah Rokh akan mengalahkanmu.” Lalu dia mati.
Dikatakan kepada yang lain: “Ucapkanlah La Ilaha Illalloh” maka dia berkata: “Wahai Robb wanita yang berkata pada suatu hari: “Aku telah capek, di manakah jalan ke pemandian Minjab?” lalu dia mati.
Dikatakan pada yang lain: “Ucapkanlah La Ilaha Illalloh” maka mulailah dia bernyanyi: “ta tan tana”, lalu dia berkata: “Apa yang engkau ucapkan tidak bermanfaat bagiku, aku tidak meninggalkan suatu kemaksiatanpun kecuali aku mengerjakannya.” Lalu dia mati dan tidak mengucapkan itu.
Dikatakan pada yang lain seperti itu, lalu dia menjawab: “Itu tidak bermanfaat bagiku. Aku belum pernah sholat untuk Alloh ta’ala satu kalipun.” Lalu dia mati dan tidak mengucapkan itu.
Dan dikatakan itu pada yang lain, maka dia menjawab: “Orang ini kafir terhadap apa yang engkau ucapkan.” Lalu dia mati.
Dan dikatakan itu pada yang lain, maka dia menjawab: “Setiap kali aku ingin mengucapkan itu maka lidahku bertahan darinya.”
Dan sebagian orang yang menghadiri kematian sebagian pengemis bercerita padaku bahwasanya orang itu di saat kematiannya berkata: “Untuk Alloh, uang kecil untuk Alloh, uang kecil benar.” Lalu dia mati.
Dan sebagian pedagang mengabariku dari sebagian kerabatnya bahwasanya dia menjelang kematian, dan orang ini ada di sampingnya. Mereka mulai mentalqinnya La Ilaha Illalloh, dan dia berkata: “Potongan ini murah, pembeli ini baik, ini demikian.” Sampai dia mati.
Dan Mahasuci Alloh, berapa banyaknya orang-orang yang menyaksikan pelajaran dari kejadian ini. Dan yang tersamarkan dari mereka tentang keadaan orang-orang yang dihadiri kematian lebih banyak dan lebih banyak lagi. Jika seorang hamba ketika benaknya, kekuatannya, kesempurnaan indranya masih hadir, itu saja setan masih bisa menguasai dirinya dan mempergunakannya dalam maksiat yang diinginkannya, setan telah melalaikan hatinya dari mengingat Alloh ta’ala, dan mengosongkan lidahnya dari mengingat Alloh ta’ala, dan mengosongkan anggota badannya dari menaati-Nya, maka bagaimana dugaan tentang orang ini ketika kekuatannya telah jatuh, sementara hatinya dan jiwanya telah tersibukkan dengan sakitnya pencabutan nyawa, dan setan mengumpulkan seluruh kekuatan dan perhatiannya, dan mengerahkan terhadap orang ini seluruh apa yang dimampuinya untuk mendapatkan dari orang ini kesempatannya, karena itu adalah akhir dari amalannya? Maka saat itu adalah waktu paling kuatnya setan terhadap orang ini, dan itu adalah waktu paling lemahnya orang ini dalam keadaan tadi. Maka siapakah yang engkau lihat bisa selamat dari serangan itu? Maka ketika itulah :
﴿يُثَبِّتُ الله الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ الله الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ الله مَا يَشَاءُ﴾ [إبراهيم: 27].
“Alloh mengokohkan orang-orang yang beriman dengan perkataan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan di akhirat, dan Alloh akan menyesatkan orang-orang yang zholim dan Alloh mengerjakan apa saja yang Dia kehendaki.”
Maka bagaimana bisa diberi taufiq untuk akhir yang bagus orang yang Alloh Yang Mahasuci telah melalaikan hatinya dari mengingat-Nya dan mengikuti hawa nafsunya, dan urusannya itu adalah ketololan dan kesia-siaan? Maka jauhlah itu dari hati yang jauh dari Alloh ta’ala, yang lalai darinya, menyembah hawa nafsunya, mengikuti syahwatnya, dan lisannya kering dari menyebut-Nya, dan anggota badannya kosong dari menaati-Nya, sibuk dengan kedurhakaan kepada Alloh untuk diberi taufiq untuk mendapatkan husnul khotimah (kesudahan yang baik).”
(selesai penukilan dari “Al Jawabul Kafi”/hal. 61-62).
Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy رحمه الله berkata: “Dan penghabisan yang buruk itu punya sebab-sebab sebelum datangnya kematian, seperti bid’ah, kemunafiqan, kesombongan dan sifat-sifat tercela yang lain. Oleh karena itulah ketakutan Salaf terhadap kemunafiqan itu sangat keras. –sampai pada ucapan beliau:-
Dan sebab-sebab yang mendorong kepada kesudahan yang buruk itu tidak mungkin dibatasi dengan perincian, akan tetapi mungkin bisa diisyaratkan kepada garis besarnya.
Akhir hayat di atas keraguan dan penentangan, maka sebabnya adalah bid’ah. Dan maknanya adalah bahwa orang ini meyakini tentang Dzat Alloh ta’ala, atau sifat-sifat-Nya, atau perbuatan-Nya, berbeda dengan kebenaran. Mungkin dia taqlid, atau disebabkan oleh pendapatnya yang rusak. Maka jika tabir tersingkap, jelaslah baginya kebatilan keyakinannya, sehingga dia mengira bahwasanya seluruh keyakinannya itu tak ada asalnya.
Dan barangsiapa berkeyakinan tentang Alloh Yang Mahasuci dan sifat-sifat-Nya secara global berdasarkan jalan Salaf tanpa mencari-cari ataupun berdalam-dalam, maka orang ini jauh dari bahaya ini, insya Alloh ta’ala.
Adapun penutupan umur di atas kemaksiatan, maka sebabnya adalah lemahnya iman pada asalnya. Dan yang demikian itu mewariskan tengelamnya dia di dalam kemaksiatan. Dan maksiat itu memadamkan cahaya iman. Jika iman lemah, lemah pula kecintaan kepada Alloh ta’ala. Maka jika datang sakarotul maut, bertambahlah kelemahannya, karena dia merasakan akan berpisah dengan dunia, karena sesungguhnya sebab yang mendorong kepada penutupan semacam ini adalah kecintaan pada dunia, bersandar pada dunia, disertai lemahnya keimanan, yang menyebabkan lemahnya rasa cinta pada Alloh. Maka barangsiapa mendapati di hatinya ada rasa cinta pada Alloh ta’ala lebih dominan daripada cinta dunia, maka dia akan jauh dari bahaya ini. Dan seluruh orang yang mati di atas kecintaan pada Alloh ta’ala, dia akan datang kepada-Nya bagaikan kedatangan hamba yang berbuat baik yang rindu pada Tuannya. Maka tidaklah tersamarkan kesenangan dan kegembiraan yang akan dijumpainya dengan semata-mata kedatangan, lebih-lebih pemuliaan yang berhak diterimanya.
Dan barangsiapa berpisah dengan ruhnya pada suatu kondisi, muncul di benaknya pengingkaran pada Alloh Yang Mahasuci atas perbuatan-Nya, atau dia terus-menerus menyelisihi-Nya, dia akan datang pada Alloh dengan kedatangan orang yang didatangkan secara paksa, maka tidaklah tersamarkan hukuman yang berhak didapatkannya.
Maka barangsiapa ingin jalan selamat, hendaknya dia menjauh dari sebab-sebab kebinasaan. Hanya saja ilmu tentang pembolak-balikan hati dan perubahan keadaan itu menggoncangkan hati orang-orang yang takut.”
(selesai penukilan dari “Mukhtashor Minhajil Qoshidin”/karya Al Maqdasiy/4/hal. 69-70).
والله تعالى أعلم،
والحمد لله رب العالمين
Dammaj, 28 Dzul Hijjah 1433 H.

([1]) HR. Al Bukhoriy (2067) dan Muslim (2557) dari Anas رضي الله عنه
([2]) HR. Al Bukhoriy (1954) dan Muslim (1151), dan ini lafazh Muslim, dari Abu Huroiroh رضي الله عنه
([3]) HR. Al Bukhoriy (1896) dan Muslim (1152), dari Sahl bin Sa’d رضي الله عنهما
([4]) HR. Ahmad (16322) dari “Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه dengan sanad yang shohih.
([5]) Abu Fairuz عفا الله عنه berkata: Demikianlah kata mereka. Yang benar adalah Nabi Isma’il عليه السلام sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur’an. Barangkali ini memang bagian dari perubahan Tauroh yang yang dilakukan oleh Yahudi.
([6]) Abu Fairuz عفا الله عنه berkata: sebagian salaf berkata: “Alangkah buruknya kehidupan orang-orang kafir. Alloh ta’ala berfirman:
﴿أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ﴾ [الأعراف: 179].
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat, mereka itulah orang-orang yang lalai.”
([7]) Abu Fairuz عفا الله عنه berkata: HR. Al Bukhoriy (7320) dari Abu Sa’id Al Khudriy رضي الله عنه.
([8]) Hadits ini diriwayatkan Al Imam Ahmad (22180), di dalam sanadnya ada Sholih bin Abi Uroib, ditsiqohkan oleh Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله dalam “Al Kasyif” (2355). Dan hadits ini dengan dukungan hadits-hadits dalam bab tersebut menjadi shohih lighoirih.


Audio/Artikel terkait:




Nikmat dan Siksa Kubur (Bag.2)
Nikmat dan Siksa Kubur (Bag.1)